PAKAIAN TRADISIONAL (ADAT) DALAM KAJIAN FOLKLOR
Dosen Pengampu: Dr. H. Halimy Zuhdi, M.Pd
Disusun Oleh M. Firdaus Imaduddin
14310001
Marwah
14310011
Iqbalul Muid
15310127
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB FAKULIAS HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2017
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, hanya kepada-Nya kita memuji, memohon pertolongan dan meminta ampunan. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan nafsu dan keburukan amal perbuatan kita. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada seorang pun yang dapat menyesatkannnya. Sebaliknya, barang siapa yang disesatkan-Nya, maka tiada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk. Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pakaian Tradisional (Adat) dalam Kajian Folklor” sebagai analisis untuk melihat bagaimana awal mula dan faktor-faktor munculnya dialek dalam bahasa Arab. Kami hanya dapat berdoa, kiranya apa yang kami tulis disini bermanfaat bagi kita semua. Ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Kami sadar bahwa apa yang kami tulis masih sangat jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritikan dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca sangat kami harapkan. Akhir kata, mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dalam makalah ini. Dan hanya kepada Allah swt kita berlindung dan memohon ampun.
Malang, Desember 2017 Penulis,
DAFTAR ISI 2
Kata Pengantar............................................................................................. 1 Daftar Isi....................................................................................................... 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang....................................................................................... 3 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 5 1.4 Tujuan …………................................................................................... 5 1.5 Manfaat………….. ............................................................................... 5 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Gambaran Umum Fashion dan Pakaian Adat………………………… 6 2.2 Ragam dan Fungsi Pakaian Adat……………………………………… 7 2.3 Contoh Pakaian Adat dan Makna Simboliknya………………………. 11 BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan …………………....................................................................21
3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Koentjaraningrat dalam bukunya Pengantar Antropologi I, menyatakan bahwa kebudayaan dibedakan menjadi empat wujud, yaitu: 1) Melambangkan kebudayaan sebagai benda-benda fisik yang merupakan wujud konkret dari kebudayaan; 2) Melambangkan kebudayaan sebagai sistem tingkah laku dan tindakan berpola; 3) Melambangkan kebudayaan sebagai sistem gagasan; dan 4) Melambangkan kebudayaan sebagai sistem gagasan yang ideologis. Dari wujud kebudayaan yang terurai tersebut, yang berupa wujud sistem budaya, sistem sosial dan kebudayaan fisik antara lain; bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem religi, dan kesenian.1 Dari konsep tersebut, maka pakaian dapat dikategorikan sebagai budaya fisik yang merupakan hasil dari karya seni manusia dalam masyarakat yang bersifat konkret dan dapat diraba, dilihat dan difoto. Namun, karya itu lebih mengarah kepada hasil karya yang berasal dari sistem budaya. Karena, pakaian yang hingga saat ini dikenal merupakan hasil pemikiran, gagasan dan konsep, baik seseorang maupun sekelompok orang yang hidup dalam sebuah lingkungan budaya. Pakaian (sandang) pada dasarnya juga merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia selain makan (pangan) dan tempat bernaung (papan). Tiga kebutuhan dasar ini tidak akan pernah bisa terlepas dari manusia. Secara naluri, manusia butuh untuk melindungi tubuhnya dari sengatan panas, dinginnya cuaca maupun hempasan angin dan hujan. Salah satu bentuk perlindungan diri tersebut adalah dengan mengenakan penutup tubuh atau lebih praktisnya dengan mengenakan pakaian. Selain itu, pakaian juga dianggap sebagai sebuah mode atau aksesoris serta produk budaya dalam masyarakat tertentu (baca; pakaian adat) dan bahkan dalam Islam pakaian merupakan bagian dari ajaran agama yang didasarkan pada al-Qur’an dan alSunnah, oleh karenanya aturan berpakaian dalam Islam bersifat mengikat karena merupakan bagian dari ajaran agama (syari‘ah).
1
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, (Jakarta: Rineka CIpta, 1996), hlm. 74-80
4
Model-model pakaian dalam sebuah masyarakat tentu berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Jika dalam ajaran Islam pakaian, termasuk ajaran syari‘ah, maka dalam budaya barat mungkin berbeda. Dalam budaya barat pakaian merupakan salah satu lambang status sosial, produk seni dan merupakan bagian dari ideologi sekulerisme, bahkan fungsi pakaian pun telah berubah, bukan lagi untuk menutup aurat (menurut Islam) melainkan untuk tujuan glamor dan popularitas. Perbedaan ini merupakan realitas yang mungkin dapat bersinggungan atau bahkan dianggap bertentangan dengan idealitas ideologi tertentu baik ideologi agama, bangsa dan negara.2 Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pakaian tidak hanya dinilai sebagai sesuatu yang memancarkan fungsi estetika, namun ia juga telah dianggap sebagai komponen atau media yang mampu mentranformasikan pesanpesan tertentu melalu simbol-simbol yang melekat padanya. Simbol-simbol itu dikonstruksikan berdasarkan bentuk, konsep, atribut, dan motif yang secara sengaja diciptakan untuk menyampaikan makna tertentu, seperti makna sosial, politik, agama, dan lain sebagainya. Berkaitan dengan simbol-simbol tersebut, studi tentang pakaian kemudian dianggap penting kira-kira awal abad ke-20, ketika perhatian mulai diarahkan terhadap dampak psikologis, sosial, dan budaya dari pakaian. studi tentang tekstil, pakaian, dan mode fashion sudah semakin kaya dengan meningkatnya kesadaran untuk melakukan studi inter dan multidisipliner. Dimensi yang dikaji sudah menjangkau sisi struktural dan interpretatif.3 Orang, misalnya, bisa menemukan studi yang menelaah relasi strukturalfungsional yang rumit antara negara, pemodal, budaya-material, tubuh, pergaulan, subjektifitas, dan penampilan-diri. Atau, ketika studi tentang feminism dan gender mulai memperoleh tempat di hati publik akademik, muncul pula tulisan-tulisan yang mengaitkan antara tubuh perempuan dan fashion.4 Penelitian-penelitian tersebut juga kerap dilakukan terhadap objek pakaian tradisional (adat) yang ada di daerah tertentu. Karena sebuah budaya dalam suatu daerah dinilai dapat merepresentasikan ciri khas tersendiri dan merupakan bagian penting yang juga diakui sebagai salah satu identitas bangsa. Baik di Arab, Indonesia yang memiliki 2
Khalis Ahmad dkk, Libas Syahrur: Teori Batas, (Bandung: Aksara, 2012), hlm. 35 Yunia Kawamura, Fashionology: An Introduction to Fashion Studies, (New York: Oxford, 2005), hlm. 13 4 Cheryl Buckley dan Hilary Fawcett, Fashioning the feminine: Representation And Women’s fashion from the Fin De Siecle to the present, London: I.B.Tauris & Co Ltd, 2002, Guy, Ali.; Banim, Maura.; Green, Eileen, Through the Wardrobe: Women’s Relationships With Their Clothes, Oxford; New York: Berg Publishers, 2001. Wendi Parkin dkk., Fashioning the Body Politic: Dress, Gender, Citizenship, Wendy Parkins (ed.) Oxford; New York, Berg: 2002. 3
5
kebudayaan juga di dalamnya terdapat pakaian tradisional atau adat yang bukan hanya sebagai penutup tubuh atau sekedar nilai estetika, namun lebih dari itu pakaian juga dinilai sebagai pengukur tingkat strata dan kedudukan seseorang. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam makalah ini penulis akan mencoba membahas tentang fenomena pakaian tradisional (adat) dalam ruang lingkup kajian folkor di Arab dan Indonsia secara komprehensif beserta beberapa aspek yang meliputinya.
1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimamksud dengan pakaian adat? 2. Bagaimana ragam dan fungsi pakaian adat? 3. Apa contoh pakaian adat suatu daerah dan makna simboliknya?
3.1 Tujuan 1. Mendeskripsikan pengertian pakaian adat secara komprehensif. 2. Menguraikan ragam dan fungsi pakaian adat secara mendalam. 3. Mengetahui dan mengelaborasi pesan-pesan yang terepresentasikan dalam pakaian adat.
3.2 Manfaat 1. Menambah wawasan mengenai pakaian adat beserta ragam dan fungsinya. 2. Mampu menjelaskan makna-makna simbolik yang melekat pada pakaian adat.
6
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Gambaran Umum Fashion dan Pakaian Adat Secara etimologi, maka kata “Fashion” menurut Oxford English Dictionary (OED) terkait dengan bahasa latin, Factio yang artinya membuat. Karena itu arti asli fashion adalah sesuatu kegiatan yang dilakukan seseorang, tidak seperti dewasa ini yang dimaknai sebagai sesuatu yang dikenakan seseorang. Arti asli fashion pun mengacu pada pengungkapan bahwa butir-butir fashion. Sedangkan pakaian adalah komoditas yang paling di-fetish-kan (fetish adalah jimat: KBBI edisi 3), diproduksi, dan dikonsumsi masyarakat kapitalis, OED menyusun daftar Sembilan arti berbeda dari kata fashion. Salah satunya, fashion didefinisikan sebagai sesuatu seperti bentuk dan jenis tata cara untuk bertindak tertentu. Polhemus dan Procter menunjukkan bahwa dalam masyarakat kontemporer barat, istilah fashion kerap digunakan sebagai sinonim dari istilah dandanan, gaya, dan busana. Sedangkan pakaian berasal dari kata “pakai” yang ditambah dengan akhiran “an”. Dalam kamus bahasa Indonesia ada 2 makna dalam kata pakai, yaitu a) mengenakan, seperti contoh: Anak SD pakai seragam merah putih. Dalam hal ini pakai berarti mengenakan, b) dibubuhi atau diberi, contoh; es the pakai gula. Dalam hal ini pakai berarti diberi.5 Makna dari pakaian sendiri adalah barang apa yang dipakai atau dikenakan, seperti baju, celana, rok dan lain sebagainya. Seperti pakaian dinas berarti baju yang dikenakan untuk dinas, pakaian hamil berarti baju yang dikenakan wanita hamil, pakaian adat berarti pakaian khas resmi suatu daerah. Kata pakaian bersinonim dengan kata busana. Namun, kata pakaian mempunyai konotasi lebih umum daripada busana. Busana seringkali dipakai untuk baju yang tampak dari luar saja. Pakaian adat sendiri adalah kelengkapan yang dipakai oleh seseorang di daerah tertentu yang menunjukkan etos kebudayaan dari daerah tersebut. Pakaian adat atau yang biasa disebut pakaian tradisional dari masing-masing provinsi ini memiliki suatu cerita masing-masing. Warna dan rancangan pakaiannya sangat indah. Pakaian khas tersebut selain indah juga mempunyai arti tertentu. Untuk saat ini pakaian adat banyak yang tidak dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya pakaian adat digunakan
5
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online, https://kbbi.kemdikbud.go.id/, diakses pada 4 Desember 2017, pukul 06.58 WIB
7
saat upacara adat, upacara perkawinan dan saat memperagakan tarian atau pertunjukan daerah.6 Mutia juga menambahkan bahwa Pakaian adat adalah lambang kebesaran sekaligus merefleksikan falsafah dan pandangan hidup, konsep dan gagasan serta tanggung jawab terutama pemimpinan suatu etnik, sub etnik. Secara fungsional, pakaian adat itu hanya (boleh) dipakai pada upacara tertentu.7
2.2 Ragam dan Fungsi Pakaian Bentuk dan ragam pakaian yang dikenakan oleh manusia, baik oleh kaum lelaki, sangatlah banyak. Setiap bentuk dan jenis pakaian yang dikenakan oleh manusia mengandung makna-makna tertentu baik bagi si pemakainya maupun bagi orang lain yang melihatnya. Bentuk-bentuk dan jenis jenis pakaian tertentu kemudian ada yang menjadi "milik" kelompok usia tertentu atau menjadi "milik" jenis kelamin tertentu, bahkan ada juga bentuk/jenis pakain yang menjadi "milik" sebagian orang yang berorientasi seksual, politik, atau kepercayaan tertentu. Pakaian yang dikenakan kemudian menjadi penanda atau menjadi lambang bagi si pemakainya. Pakaian adalah kebutuhan pokok manusia yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Manusia membutuhkan pakaian, karena pakaian menawarkan berbagai kebaikan dan manfaat bagi pemakainya. Pakaian juga merupakan sebuah representator yang sangat erat dengan diri kita. Tak heran, kalau Thomas Carlyle mengatakan bahwa pakaian menjadi “perlambang jiwa” (emblems of the soul). Pakaian bisa menunjukkan siapa pemakainya. Hal senada juga disampaikan Umberto Eco dalam statemennya, “I speak through my cloth” (aku berbicara lewat pakaianku). Kemudian pakaian yang digunakan oleh setiap orang dianggap sebagai media untuk menyampaikan makna tertentu, sehingga orang yang mengadakan interaksi dengannya akan berusaha untuk menafsirkan penampilan yang dibawa oleh pakaian tersebut. Pernyataan ini membawa kita pada fungsi komunikasi dari pakaian yang dikenakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam suasana formal maupun informal.8 Spesifiknya, media komunikasi itu berbentuk artifaktual yang didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung melalui pakaian, dan penataan berbagai artefak, misalnya, 6
https://dirrga.wordpress.com/pakaian-adat/, diakses pada 3 Desember 2017, pukul 14.00 WIB Riza Mutia, Pakaian Penghulu Minagkabau, (Sumatera Barat: Proyek Pembinaan Permuseuman, 1996), hlm. 19 8 Malcolm Bernard, Fashion Sebagai Komunikasi, (Jalasutra: Yogyakarta, 2011), hlm. 6 7
8
pakaian, dandanan, barang perhiasan, kancing baju, atau furniture di rumah dan penataannya, ataupun dekorasi ruangan. Karena pakaian menyampaikan pesan-pesan nonverbal.9 Bertolak dari pernyataan tersebut, maka pakaian yang digunakan oleh seseorang haruslah sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, agar tidak menyebabkan masalah bagi dirinya maupun lingkungan di sekitarnya. Secara rinci, di antara fungsi pakaian yang dapat dipaparkan sebagai berikut:10 a. Penutup Aurat Manusia Pakaian yang baik adalah pakaian yang menutupi aurat seseorang. Pakaian digunakan sebagai alat penutup sesuatu yang dapat menimbulkan berbagai respon negatif, seperti rasa malu dan rasa kurang percaya diri. Karena pada dasarnya aurat berhubungan dengan rasa malu pada manusia, sehingga orang yang tidak menutup auratnya dengan bisa dianggap sebagai orang yang tidak tahu malu oleh orang-orang yang ada disekitarnya.
b. Pelindung Tubuh Manusia Penggunaan pakaian yang baik akan mampu melindungi tubuh dari berbagai hal yang dapat memberikan pengaruh negative pada manusia. Contohnya seperti perlindungan tubuh dari terik matahari, hujan, hawa dingin, hawa panas, debu, kotoran, dan lain sebagainya. Tubuh yang tidak tertutupi pakaian dengan baik bisa mudah terkena penyakit dan juga lebih mudah kotor. Tentu saja pakaian yang digunakan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan yang ada sehingga terlindung secara maksimal.
c. Simbol Status Manusia Dalam tingkatan status masyarakat, pakaian bisa memperlihatkan tingkat status seseorang. Simbol status dipergunakan untuk menentukan posisi seseorang di masyarakat. Simbol status yang paling tua dapat dilihat di kalangan masyakat yang hidup pada zaman Paleolithic. 11 Para kepala suku atau kepala sekte biasanya mengenakan pakaian tertentu sebagai penanda atau untuk menunjukkan dan membedakan statusnya. Kepangkatan merupakan bentuk lain dari status yang
9
Ibid, hlm. 7 Abdul Aziz Amr, al-Libas wa al-Zinah Fi Syari’ati al-Islam, (Beirut: Muassasah al-Risalah 1403 H), hlm. 27-30 11 Herman Jusuf, Pakaian Sebagai Penanda, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001, hlm. 8 10
9
memerlukan pakaian untuk membedakannya. Misalnya saja dalam dunia militer pakaian jendral dibuat berbeda dengan pakaian prajurit biasa sehingga mudah untuk dikenali. Selain dalam dunia militer, dalam lingkungan kerajaan, lingkungan pemerintahan, lingkungan masyarakat umum biasa pun juga bisa memiliki pakaianpakaian tertentu sebagai pembeda status tingkatan manusia yang satu dengan yang lainnya. Pakaian adalah sebuah ekspresi tentang cara hidup. Pakaian dapat mencerminkan adanya perbedaan status dan pandangan politik religius. Dengan demikian, cara kita memilih pakaian dapat berfungsi sebagai suatu pernyataan, sebagai sarana untuk menunjukkan bahwa kita berasal dari kelompok tertentu yang berbagi sekumpulan ideal tertentu. Dengan Pandangan- pandangan yang berbeda tentang bagaimana seharusnya masyarakat diatur tersebar meluas pada beragam pendapat tentang bentuk pakaian yang benar.12
d. Penunjuk Identitas Manusia Manusia bisa menunjukkan eksistensi dirinya sendiri kepada orang lain melalui pakaian yang dikenakan. Bisa lewat tulisan pada pakaian, aksesoris, model pakaian, warna, dan lain sebagainya. Orang yang memiliki gengsi yang tinggi tentu saja akan berupaya mengenakan pakaian yang sedang tren atau popular di kalangannya walaupun harganya mahal. Namun, Ada pepatah yang mengatakan bahwa kita tidak dapat menilai isi sebuah buku hanya dengan melihat sampul depannya saja. Dengan demikian, kita pun tidak dapat menilai seseorang hanya melalui pakaian yang dikenakannya, tetapi justru hal tersebut yang sering terjadi, dan hal itulah yang kemudian membentuk sesuatu yang disebut stereotype. Pembentukan stereotype ini mengabaikan kenyataan bahwa setiap orang memiliki seperangkat karakteristik yang unik dan komplek. Kesalahan dalam pembentukan stereotype merupakan kesalahan dari penyederhanaan yang berlebihan (oversimplification). Stereotype yang bersifat kulutural merupakan sesuatu benar dan sekaligus salah karena stereotype selalu berdasarkan pada fakta. stereotype dapat saja benar pada suatu waktu atau pada suatu
12
Klinken, Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van. Politik lokal di Indonesia, (Jakarta: Yayasan obor Indonesia). 2005.
10
tempat. Dapat juga terjadi stereotype tersebut tidak benar jika diterapkan pada sekelompok orang. Jika benar maka hal itu bukanlah stereotype tetapi fakta.
e. Perhiasan Manusia Seseorang bisa tampil menarik jika mengenakan pakaian yang tepat. Ditambah lagi dengan aksesoris pakaian dan juga ditunjang dengan perbaikan penampilan diri dapat meningkatkan daya Tarik seseorang di mata orang-orang yang ada di sekitarnya. Fungsi in juga dapat dikatakan sebagi fungsi estetik yang merepresentasikan keindahan-keindahan yang melekat dalam diri manusia yang memakai pakaian tersebut.
f. Membantu kegiatan/Pekerjaan Manusia Pekerjaan tertentu akan menjadi lebih mudah dilakukan apabila seseorang memakai pakaian khusus. Contohnya, seperti pakaian menyelam yang cocok untuk digunakan pada kegiatan diving di laut, pakaian loreng tentara yang cocok untuk memanipulasi pandangan musuh, pakaian anti api bagi para pembalap, pakaian badut untuk orang yang hendak menghibur anak-anak, dan lain sebagainya.
g. Mediator Transformasi Pesan Pakaian merupakan bahasa diam (silent language) yang berkomunikasi melalaui pemakaian simbol-simbol verbal maupun nonverbal. Goffman menyebut simbol-simbol semacam itu sebagai ‘sign-vehicles’ atau ‘cues’ yang menyeleksi status yang akan diterapkan kepada seseorang dan menyatakan tentang cara-cara orang lain memperlakukan mereka. Jalan pintas visual terhadap persepsi seseorang akan membuat kita mampu mengkategorikan seorang individu dan menyiapkan suatu perangkat untuk dipergunakan dalam melakukan interaksi berikutnya. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk memahami makna dari simbol-simbol yang disampaikan oleh pakaian agar seseorang mampu menunjukkan dirinya sedemikian rupa sehingga impresi (kesan) yang diinginkan dapat diperoleh. Dalam kehidupan masyarakat urban masa kini yang bergerak dengan cepat sebagian besar kontak antar manusia bersifat sementara, dan tidak bersifat pribadi (impersonal). Efekefek simbolik yang ditimbulkan oleh pakaian ketika seseorang melakukan interaksi antar manusia sama tuanya dengan pakaian itu sendiri, tetapi baru pada sekitar abad
11
XIX para ahli ilmu pengetahuan terutama para ahli ilmu sosial melakukan kajian tentang pakaian yang dipergunakan sebagai komunikator nonverbal. 13
2.3 Contoh Pakaian Adat dan Makna Simboliknya Dunia Arab terdapat beragam pakaian adat yang menjadi ciri khasnya, di antaranya: 1. Thawb Thawb merupakan pakaian standar untuk para pria di Arab Saudi. Ia populernya disebut dengan gamis atau jubah. Thawb adalah baju yang berbentuk terusan yang berlengan panjang. Ketika menggunakan thawb para pria biasanya memakai celana panjang berwarna putih sebagai bawahannya. Keunikan thawb terletak pada kebiasaan masyarakat menggunakan warna sejenis di suatu musim. Pada musim panas, para pria di Arab Saudi menggunakan thawb yang berwarna putih. Sedang saat memasuki musim dingin, mereka menggunakan thawb yang berwarna gelap seperti hitam, coklat tua dan lainnya. Bahan yang digunakan saat musim dingin juga berbeda dengan yang digunakan saat musim panas. Bila musim panas para pria di Arab Saudi menggunakan thawb yang berbahan tipis seperti katun. Sedang di musim dingin mereka menggunakan thawb yang berbahan tebal seperti wol. Thawb juga memiliki beberapa variasi, yaitu ada yang berjenis lengan panjang dan kerahnya dibuat lebih kaku untuk menunjukkan kesan formal. Ada pula thawb yang jenis lengannya pendek da nada yang bagian leher kerahnya terbuka. Thawb jenis ini lebih banyak digunakan oleh pria muda Arab Saudi. Untuk melengkapi pakaian Thawb ini biasanya para pria Arab Saudi menggunakan aksesoris diatas kepala. Salah satu aksesoris berbentuk topi berbahan katun dan berwarna putih. Topi yang dipakai diatas rambut para pria Arab ini sering disebut dengan kopiah. Berikut ini adalah gambar thawb yang dikenakan oleh orang Arab:
13
Herman Jusuf, Pakaian Sebagai Penanda, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001, hlm. 4
12
2. Abaya Abaya digunakan saat para wanita keluar rumah. Bentuk abaya adalah baju terusan yang panjangnya bisa sampai ke mata kaki. Lengan baju abaya juga panjang. Di bererbagai kota di Arab Saudi anda akan melihat para wanita banyak yang menggunakan abaya yang berwarna hitam. Abaya berwarna hitam adalah Abaya tradisonal. Menggunakan abaya biasnya juga dibarengi dengan menggunakan cadar (bisa juga disebut dengan niqob) sehingga yang tampak hanyalah mata mereka. Berikut ini adalah gambar abaya yang dikenakan oleh orang Arab:
3. Thawb antik Thawb antik biasanya berbentuk dress panjang yang meyerupai kaftan. Umumnya, thawb antik terbuat dari sutra yang disulam atau Qosob atau sering disebut benang emas. Pakaian tradisional ini sering dipakai oleh wanita yang sudah menikah untuk menghadiri acara-acara penting. Selain thawb antik yang berasal dari Arab 13
Saudi, ada juga pakaian tradisional asal kota Abha. Pakaian tradisional Abha berupa atasan kain yang dicetak dengan pola bunga. Untuk bawahannya, pakaian tradisional yang ditemukan di antara tinggi abha ini berupa kain berwarna-warni yang dilengkapi dengan pantalets. Pentalets diguanakan dipergelangan kaki untuk melindungi diri dari dinginnya cuaca di kota Abha. Supaya pemakai terlindungi dari matahari, pakaian tersebut dilengkapi oleh topi jerami yang digunakan atas syal warna-warni. Selain pakain khas kota Abha, ada juga pakaian yang berasal dari barat Arab Saudi atau yang biasa di sebut dengan kawasan Hijaz. Pakaian tradisional hijaz adalah sebuah blus yang menyerupai thawab tetapi memiliki banyak hiasan. Pakaian tradisioanal hijaz dipakai dengan bawahan berupa sirwal atau celana panjang. Sebagai aksesorisnya biasanya masyarakat hijaz memakai tutup kepala tradisional hijaz dikenal dengan nama mihromah dan mudawwaroh. Berikut ini adalah gambar thawb antik yang dikenakan oleh orang Arab:
4. Keffiyeh Keffiyeh sejati merupakan penutup kepala alias scraft berbentuk persegi yang banyak digunakan oleh para pria Arab sejak zaman dahulu. Ghutrah, shemagh, hattah, mashadah, khafiye, dan camedani merupakan nama lain dari khas Arab yang satu ini. Pada dasarnya, keffiyeh teruat dari bahan katun yang berfungsi melindugi kepala dari panas sinar matahai, penahan keringat, debu, dan pasir yang ada di padang gurun. Cara penggunaan keffiyeh pun bermacam-macam. Ada yang melilitkannya menyerupai turban atau sorban, adayang mengalungkannya saja dileher, nmun masih banyak juga yang menggenakan cara tradisional. Beda daerah, beda pula motif yang dikenakan. Pada negara seperti Irak, Qotar, Kuwait, Arab Saudi, dan Bahrain. Keffiyah berwarna putih polos akan sangat mudah dijumpai. Sedangkan di yordania, yang lebih disukai adalah keffiyeh bercorak merah putih dengan aksen rumbai pada bagian pinggirnya, atau yang disebut dengan shmagh 14
mhdab. Masyarakat yordania menganggap bahwa semakin besar rumbai atau tessel yang ada pada keffiyeh mereka, semakin tinggi pula status sosial pemiliknya. Keffiyeh sendiri di era 1930-an dianggap sebagai simbol nasionalisme dan solidaritas terhadap palestina. Yasser Arafat dengan keffiyeh hitam putihnya menjadikan tradisional Arab ini menjadi khasnya. Namun seiring dengn perkembangan zaman, keffiyeh mengalami perubahan fungsi. Keffiyeh telah menjadi sebuah tren dan aksesoris pelengkp fashion. Kini, tak hanya kaum lelaki saja yang menggenkan keffiyeh, para wanita juga menggenkan keffiyeh yang dimodifikasi sebagai syal atau hijab. Berikut ini adalah gambar keffiyeh:
5. Igal Igal adalah sebuah tali panjang berwana hitam yang dikenakan dengan cara dililitkan sebnya dua kali untuk menahan Ghutra agar tidak terlepas. Penggunaan igal yang mempunyai nama lain berupa egal, agal dan aqal ini hanya akan dipasangkan dibagian kepala dan tidak diikatkan dibagian dahi. Igal modern umumnya dibuat dari anyaman bulu kambing hitam dan bulu domba. Berikut ini adalah gambar igal:
15
6. Taqiyah Taqiyah merupakan toi kecil berwarna putih yang dekenakan sebagai dalamn Ghutra untuk menjaganya agar tidak jatuh saat bergesekan dengan rambut yag licin. Di Negara Mesir, Sudan dan Afrika penggunan taqiyyah dalam berbagai variasi umumnya dikenakan tanpa penutup kepala lain. Berikut ini adalah gambar taqiyyah:
7. Dishdasha atau Thobe Dishdasha atau Thobe merupakan jubah panjang berpotongan longgar dengan panjang sebagai sebatas mata kaki yang digenakan oleh kaum pria Timur Tengah. Pakaian ini biasanya dikombinasikan dengan nama sarwal. Selama musim panas kaum pria dimasa tersebut umumnya menggunakan thobe berwarna putih, sementara pada saat musim dingin thobe dari warna gelap dari bahan wol yang tebal menjadi alternatif lain untuk menghangatkan tubuh dari cuaca dingin. Berikut ini adalah gambar thobe:
16
8. Bisht atau Aba Bisht atau Aba merupakan jubah berukuran panjang yang busananya dikenakan para pemuka agama dan pejabat pemerintah tingkat tinggi di Timur Tengah untuk menutupi thobe. Bisht yang berkualitas umumnya terbuat dari bahan katun atau bulu doba dengan hiasan atau sulaman benang emas, yang disebut dengan Mogasab (dalam bahasa Arab). Berikut ini adalah gambar bisht:
Selain di Arab, di negara Indonesia juga terdapat kekhususan ragam pakaian yang menjadi ciri khas dari tiap-tiap daerahnya. Karya itu sangat nampak salah satunya dalam bentuk pakaian Indonesia berjenis batik. Pakaian batik tidak hanya memiliki fungsi sebagai pelindung tubuh layaknya pakaian biasa. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Hall, “yang saya maksud dengan kebudayaan di sini adalah lingkungan aktual untuk berbagi praktik, representasi, bahasa dan adat-istiadat tertentu.”14 Kebudayaan terkait dengan makna sosial yang dimiliki bersama, yaitu
14
Barker, Cultural Studies Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013), hlm. 8
17
berbagai cara kita memahami dunia ini. makna dibangun melalui tanda, khususnya tanda-tanda bahasa. Batik yang dikenakan sebagai penutup tubuh, memiliki beberapa makna bagi masyarakat di Pulau Jawa. Tiap motif juga memiliki makna yang berbeda satu dengan lainnya. Sehingga batik pada saat kerajaan di Pulau Jawa masih kental dengan adat istiadatnya memiliki pakem bagaimana cara memakai dan pada acara apa batik tersebut dapat dikenakan. Berbagai motif batik memiliki pakem-pakem tersendiri yang dapat memiliki fungsi membangun rasa kepemilikan dalam ikatan kelompok, etnisitas dan identitas politik.15 Begitu pula yang ditunjukkan melalui pakaian yang dikenakan oleh Sultan Hamengkubuwono seperti gambar 1, motif Parang Kusumo dan Kawung yang menyimbolkan makna keindahan (kusumo) dan keperkasaan dan keadilan (kawung) . Sebagai pemerintah Yogyakarta pada saat itu, sangat penting menjaga stabilitas perekonomian, keamanaan, dan kesejahteraan rakyatnya. Pada masa penjajahan, akan sangat sulit untuk memerintah dengan kondisi yang tidak menentu. Oleh karena itu pakaian yang dikenakan Sultan dapat menjadi suatu cerminan bijak, bahwa pengaruh budaya asing dapat masuk kapan saja dan mempengaruhi kebudayaan yang sudah lebih dulu ada, namun dua kebudayaan yang berbeda itu dapat berdampingan bahkan membuat suatu budaya baru, contohnya perkembangan model pakaian. Sultan Hamengku Buwana X mengatakan “Sejak lahir, menjalani hidup di dunia hingga meninggal, diselimuti dengan kain batik. Batik sangat dekat dengan kehidupan. Khususnya dalam lingkungan keluarga.16 Pernyataan Hamengku Buwana merupakan suatu gambaran kondisi, dimana batik merupakan sebuah instrumen yang mereka percaya, kenakan, hingga menjadi tradisi dan dipelihara hingga ke anak cucu. Pada bagian kehidupan inilah, batik peranannya sangat penting bagi masyarakat Jawa, bukan karena berfungsi hanya sebagai pakaian, namun juga alat untuk menyatakan diri mengenai identitas diri antara lain kelas sosial, dari daerah mana ia berasal. Semua praktik kultural bergantung pada makna yang dibentuk oleh tanda. Sehingga kebudayaan dikatakan bekerja seperti bahasa.
15 16
Barker, op.cit, hlm. 674 Kusrianto, Batik: Filosofi, Motif, dan Kegunaannya, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2013), hlm. 88
18
Gambar 1: Motif Batik Parang Kusumo dan Kawung
Saat ini batik, tidak lagi memiliki pakem yang seketat dulu, dimana batik dimaknai sebagai pakaian tradisional yang juga merupakan pakaian untuk menunjukkan keterikatan dalam suatu kelompok atau komunitas, seperti seragam, tanda pangkat, bahkan dari kelas sosial mana pemakai batik tersebut berasal. Nilainilai ini semakin memudar seiring perkembangan teknologi dan pergeseran makna pakaian (clothing) menjadi mode (fashion). Sehingga mengenakan batik sekarang ini tidak lagi serumit dulu, kala batik saat dikenakan memiliki makna kultural dimana para individu memiliki relasi kesepahaman mengenai makna dalam batik itu. Dengan berkolaborasinya motif batik dari pakem menjadi Lokcan dan Tiga Negeri, batik pada peradaban Indonesia mengalami dinamisasi pakaian. Batik tidak hanya digunakan sebagai penutup tubuh, melindungi dari cuaca dan iklim, tetapi juga memiliki nilai fungsi lain sebagai operator atau agen sejarah yang mampu berbicara. Batik berfungi secara arbitrer mendefinisikan perbedaan, yaitu budaya. Batik Lokcan dan Tiga Negeri saat dikenakan pada masa silam, akan sangat terlihat bahwa batik tersebut dipengaruhi unsur kebudayaan lain, yaitu Belanda dan Tionghoa. Jantra yang ditulis oleh Sarmini, Cracken mengungkap perubahan dalam motif pada batik tradisional khususnya motif Lokcan dan Tiga Negeri merupakan bagian dari instrumen hegemonik masyarakat kulit putih (penjajah) untuk mempengaruhi (berbaur) masyarakat pribumi. Batik Lasem motif Lokcan dan Tiga Negeri merupakan batik yang umumnya sudah dikenali masyarakat karena corak pesisir yang kuat. Corak pesisir ini ditandai dengan motif-motif yang mencerminkan budaya lain, yaitu motif Tionghoa dan Belanda. Hal ini disampaikan melalui warna dan motifnya antara lain, warna merah 19
dalam batik Lokcan dan batik Tiga negeri yang sama – sama merupakan cerminan budaya Tionghoa. Juga motif seperti bunga, burung, yang dikenakan dalam batik ini merupakan simbol yang dipercaya oleh masyarakat Tionghoa sebagai lambang keberuntungan. Sedangkan warna biru dalam batik Tiga Negeri merupakan cerminan budaya Belanda yang pada saat itu mendominasi aspek kehidupan masyarakat. Sedangkan warna cokelat pada batik Tiga Negeri merupakan cerminan budaya Jawa.17
Batik Lokcan
Batik Tiga Negeri
Selain pakaian batik, di Indonesia juga terdapat pakaian adat yang khas dari suatu daerah tertentu, di antaranya adalah pakaian adat khas Palembang yaitu asean dan pak sangkong. Aesan Gede dan Pak sangkong merupakan pakaian adat yang dipakai oleh pengantin ketika acara resepsi pernikahan di Palembang. Pakaian ini dipakai saat upacara adat perkawinan di Palembang, yaitu “penganten munggah”. Setelah melewati beberapa tata upacara adat perkawinan di Palembang, seperti: madik (memilih calon pengantin), menyenggung (memantapkan pilihan), meminang (melamar), berasan, memutus kato, mengantar uang belanja, bedandan, akad nikah, mengarak pacar, munggah, upacara di ruangan gegajah, menjenguk pengantin, menjemput pengatin, berkeramas (mandi simbur), mempertemukan pengantin, syukuran, nyanjoke pengantin dan pengantin tandang.18 Menurut Ali Hanafiah, pakaian adat pernikahan Palembang ini mendapat pengaruh dari kebudayaan luar atau asing (Hanafiah, Wawancara Pribadi, 6 Juni 2016). Masuknya kebudayaan luar atau asing ini juga dipengaruhi oleh letak geografis Palembang yang pada zaman Kerajaan Sriwijaya terdapat pelabuhan besar tempat 17
Gabriela Lordy, Representasi Identitas Kultural Dalam Simbol-Simbol Pada Batik Tradisional dan Kontemporer, Commonline Departemen Komunikasi, Vol. 4/No. 3, hlm. 50 18 Meriati Saragih, dkk, Perlengkapan Upacara Daur Hidup Masyrakat Palembang Koleksi Museum Balap Utra Dewa, (Palembang: Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sumatera Selatan, 2001), hlm. 24
20
singgahnya para pedagang dari luar termasuk Jawa, Cina dan Arab. Dengan singgahnya orang-orang luar di Palembang ini menyebabkan kebudayaan Palembang mendapat pengaruh yang sangat besar dari kebudayaan luar tersebut. Termasuk pakaian adat pernikahan Palembang yang mendapat pengaruh tersebut. Simbol-simbol yang terkandung dalam aesan gede dan pak sangkong sebagai berikut: bahwasanya pada pakaian adat aesan gede dan pak sangkong ini Merupakan simbol kebaikan kehidupan di dunia dan akhirat. Kebaikan di dunia yaitu agar setelah pernikahan akan mendapatkan kebahagian dan kemujuran. Juga, terdapat simbol dalam berperilaku yaitu, ramah, tertib dan saling menghormati.19
19
Eka Hikmawati, Makna Simbol Dalam Aesan Gede dan Pak Sangkong Pakaian Adat Pernikahan Palembang, Jurnal Intelektualita: Volume 06, Nomor 01, 2017, hlm. 3
21
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan Dari pembahasan yang telah diuraikan, penulis dapat menyimpulkan beberapa poin, antara lain: 1. Pakaian (sandang) merupakan elemen yang sangat penting dalam kehidupan selain makan (pangan) dan tempat bernaung (papan). Makna dari pakaian sendiri adalah barang apa yang dipakai atau dikenakan, seperti baju, celana, rok dan lain sebagainya. Pakaian adat adalah kelengkapan yang dipakai oleh seseorang di daerah tertentu yang menunjukkan etos kebudayaan dari daerah tersebut. Pakaian adat atau yang biasa disebut pakaian tradisional dari masing-masing provinsi ini memiliki suatu cerita khsusus yang mendasari munculnya motif suatu pakaian adat tertentu.
Pakaian
adat
juga
merupakan
lambang
kebesaran
sekaligus
merefleksikan falsafah dan pandangan hidup, konsep dan gagasan serta tanggung jawab terutama pemimpinan suatu etnik, sub etnik. Secara fungsional, pakaian adat itu hanya (boleh) dipakai pada upacara tertentu. 2. Ragam pakaian tertentu menjadi "milik" kelompok usia tertentu atau menjadi "milik" jenis kelamin tertentu, bahkan ada juga bentuk/jenis pakain yang menjadi "milik" sebagian orang yang berorientasi seksual, politik, atau kepercayaan tertentu. Pakaian yang dikenakan kemudian menjadi penanda atau menjadi lambang bagi si pemakainya. Sedangkan fungsi pakaian adat ada 7; 1) penutup aurat manusia, 2) pelindung tubuh manusia, 3) simbol status manusia, 4) petunjuk identitas manusia, 5) perhiasan manusia, 6) membantu kegiatan/pekerjaan manusia, dan 7) mediator transformasi pesan. 3. Di Arab, ada 8 pakaian adat khusus yang seringkali digunakan, di antaranya; 1) Thawb, 2) Abaya, 3) Thawb Antik, 4) Keffiyeh, 5) Igal, 6) Thaqiyyah, 7) Thobe, dan 8) Bisht. Semua dari pakaian Arab tersebut merepresentasikan makna kesederhanaan yang hidup di daerah Arab Saudi. Di Indonesia terdapat pakaian adat yang sangat beragam, di antaranya pakaian batik Parang Kusumo yang melambangkan keindahan, batik Kawung yang melambangkan keperkasaan dan keadilan, batik Lokcan dan Tiga Negeri yang melambangkan keberuntungan dan budaya Tionghoa dan Belanda, dan pakaian adat resmi aesan gede dan pak sangkong yang menyimbolkan kebaikan kehidupan di dunia dan akhirat. Kebaikan 22
di dunia yaitu agar setelah pernikahan akan mendapatkan kebahagian dan kemujuran. Juga, terdapat simbol dalam berperilaku yaitu, ramah, tertib dan saling menghormati
23
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka CIpta, Khalis Ahmad dkk. 2012. Libas Syahrur: Teori Batas. Bandung: Aksara Yunia Kawamura. 2005. Fashionology: An Introduction to Fashion Studies. New York: Oxford. Cheryl Buckley dan Hilary Fawcett. 2002. Fashioning the feminine: Representation And Women’s fashion from the Fin De Siecle to the present, London: I.B.Tauris & Co Ltd, Guy, dkk. 2001. Through the Wardrobe: Women’s Relationships With Their Clothes, Oxford; New York: Berg Publishers Wendi Parkin dkk. 2002. Fashioning the Body Politic: Dress, Gender, Citizenship, Wendy Parkins (ed.) Oxford; New York, Berg Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online, https://kbbi.kemdikbud.go.id/, diakses pada 4 Desember 2017, pukul 06.58 WIB https://dirrga.wordpress.com/pakaian-adat/, diakses pada 3 Desember 2017, pukul 14.00 WIB Malcolm Bernard. 2011. Fashion Sebagai Komunikasi. Jalasutra: Yogyakarta Abdul Aziz Amr. 1403 H. al-Libas wa al-Zinah Fi Syari’ati al-Islam. Beirut: Muassasah al-Risalah Herman Jusuf, Pakaian Sebagai Penanda, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.1 No.3 Agustus 2001 Klinken, Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van. 2005. Politik lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan obor Indonesia Barker. 2013Cultural Studies Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Kusrianto. 2013Batik: Filosofi, Motif, dan Kegunaannya. Yogyakarta: Penerbit Andi. Gabriela Lordy, Representasi Identitas Kultural Dalam Simbol-Simbol Pada Batik Tradisional dan Kontemporer, Commonline Departemen Komunikasi, Vol. 4/No. 3, hlm. 50 Riza Mutia. 1996. Pakaian Penghulu Minagkabau. Sumatera Barat: Proyek Pembinaan Permuseuman
24
Meriati Saragih, dkk. 2001. Perlengkapan Upacara Daur Hidup Masyrakat Palembang Koleksi Museum Balap Utra Dewa. Palembang: Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sumatera Selatan Eka Hikmawati, Makna Simbol Dalam Aesan Gede dan Pak Sangkong Pakaian Adat Pernikahan Palembang, Jurnal Intelektualita: Volume 06, Nomor 01, 2017, hlm. 3
25