BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Qawaid fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) merupakan salah satu kebutuhan bagi kita semua, khususnya mahasiswa Fakultas Syariah. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah dalam menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh dan lebih arif dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini tidak lain karena kaidah fiqh sebagai hasil dari cara berfikir induktif, dengan meneliti materi-materi fiqh yang banyak sekali jumlahnya yang tersebar di dalam ribuan kitab fiqh. B. Rumusan Masalah 1. Apa Pengertian qawa’id al-fiqhiyah? 2. Bagaimana Sejarah Qawaid Fiqiyyah? 3. Apa Faktor Kemunculan Qawaid Fiqiyyah?
C. Tujuan Penulisan 1. Untuk Mengetahui Pengertian qawa’id al-fiqhiyah. 2. Untuk Mengetahui Sejarah Qawaid Fiqiyyah. 3. Untuk Mengetahui Faktor Kemunculan Qawaid Fiqiyyah.
1
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian qawa’id al-fiqhiyah Qawa’id merupakan bentuk jama’ dari lafaz kaidah yang menurut bahasa artinya dasar atau asas. Sekarang ini lafaz /kata kaidah telah menyatu dengan bahasa Indonesia, yang berarti aturanatau patokan.[1]Qawa’id AlFiqhiyah adalah yang serupa dengan Ushul Fiqih yang dikembalikan kapada suatu qiyas atau dlabith, seperti dlaman dan kaidah khiyar. Atau dengan kata lain, kaidah adalah pengekang furu’ yang bermacam-macam dan meletakan furu’-furu’itu dalam satu kandunagan umum dan lengkap. Dan ashal iyalah lebih merupakan jalan istimbath kepada cabang dalam wujudnya, walaupun kebanyakan ashal yang di pegangai pera imam, dilahirkannya oleh furu’. Qawa’id Fikhiyah (kaidah-kaidah fikih) secara etimologi adalah dasar-dasar atau asas-asas yangbertalian denga masalah-masalah atau jenis-jenis fikih. Bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam artibisa diterapkan kepada juz’iyat-nya (bagian-bagiannya).1 B. Sejarah Qawaid Fiqiyyah 1. Fasa Pertumbuhan dan Pembentukan Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih. Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi fasa sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman. a. Zaman Rasululah SAW Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fiqh, yaitu : 1. ( الخضضضرج بالضضضضمانhak menerima hasil karena harus menanggung kerugian) 2. ( العجماء جرحها جبارkerusakan yang dibuat oleh kehendak binatang sendiri tidak dikenakan ganti rugi), dll. 1
Djazuli, HA. Kaidah-kaidah fiqh. Jakarta : kencana. 2006. Hal. 54-59
2
Ibnu Taimiyah (w. 728 H), setelah menyampaikan hadits riwayat Ahli Sunan menyatakan dengan hadits jawami’ al-kalam (singkat padat) Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dapat menghilangkan dan merosakkan akal (adalah) haram. Nabi tidak membeda-bedakan jenisnya, apakah benda tersebut berjenis makanan atau minuman. Ini adalah ketetapan Nabi Muhammad SAW, iaitu hukum meminum minuman yang memabukkan adalah haram. b. Zaman Sahabat Sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka. Atsar (pernyataan) sahabat yang dapat dikatagorikan jawami’ alkalim dan qawaid fiqhiyyah di antaranya adalah sebagai berikut: Pernyataan Umar bin Khatab ra (w.23 H) yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (w. 256 H) dalam kitabnya Shahih al-Bukhari: مقاطع الحقوق ( عنضضضد الشضضضروطpenerimaan hak berdasarkan kepada syarat-syarat). Pernyataan Ali bin Abi Thalib ra (w. 40 H) yang diriwayatkan oleh Abd al-Razaq (w.211 H) :( مضضن قاسضضم الزبضضح فل ضضضمان عليضضهorang yang membagi keuntungan tidak harus menanggung kerugian). Atsar Umar bin Khatab ra di atas menjadi kaidah dalam masalah syarat. Atsar Ali bin Abi Thalib menjadi kaidah yang subur dalam bidang persoalan harta benda, seperti mudharabah dan syirkah. c. Zaman Tabi’in dan Tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Di antara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in: 1) Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182) Karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah : ”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”
3
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris. d. Imam Asy-Syafi’i, Pada fasa kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, iaitu ”Sesuatu yang dibolehkan dalam keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa” Pernyataan Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm, di antaranya العظم اذا سقط عن الناس سقط ما هو أصغر منه (apabila yang besar gugur, yang kecilpun gugur). Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), Di antara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal yang Abu Daud dalam kitabnya al-Masail, yaitu : كل ما جاز فيه البيع تجوز فيه الهبة والصدقة والرهن ”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan” Ulama berikutnya ialah Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w.189 H), Ia mengemukakan apabila seseorang mempunyai wudhu, kemudian timbul keraguan dalam hatinya, apakah ia sudah hadats (batal) atau belum, dan keraguan ini lebih besar dalam pikirannya; lebih baik ia mengulangi waudhunya. Apabila ia tidak mengulangi wudhu dan sholat beserta keraguaannya itu, menurut kami boleh, karena ia masih mempunyai wudhu sehingga ia yakin bahwa ia telah hadats (batal). Apabila seorang muslim terpercaya atau muslimah yang terpercaya, merdeka maupun tidak, memberi tahu bahwa ia telah hadats (batal), tidur terlentang, atau pingsang;ia tidak boleh melaksanakan shalat (sebelum mangulangi wudhu). 2. Fasa Perkembangan dan Kodifikasi Awal mula qawaid fiqhiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad ke 4 H dan terus berlanjut pada masa
4
setelahnya. Hal ini terjadi ketika kecenderungan taqlid mulai tampak dan semangat ijtihad telah melemah kerana saat itu fiqh mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dan ulama pada saat itu merasa puas dengan perkembangan yang telah dicapai oleh fiqh pada saat itu. Pembukuan fiqh dengan mencantumkan dalil beserta perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi di antara madzhab sepertinya telah memuaskan mereka, sehingga tidak ada pilihan lain bagi generasi setelahnya kecuali merujuk pada pendapat-pendapat madzhab itu dalam memutuskan dan menjawab persoalan-persoalan baru. Ketika hukum furu’ dan fatwa para ulama semakin berkembang seiring dengan semakin banyaknya persoalan, para ulama mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah dan dhabit yang dapat memelihara hukum furu’ dan fatwa para ulama tersebut. Hal inilah yang dilakukan oleh Abu Hasan al-Karkhi (w.340 H) dalam risalahnya (ushul al-Karkhi). Dan Abu Zaid al-Dabbusi (w.430 H) dalam kitabnya Ta’sis al-Nadhar dengan memakai istilah ushul. Apabila ushul tersebut mencakup berbagai masalah fiqh, maka disebut kaidah, sedangkan kalau hanya mencakup satu masalah fiqh , disebut dhabit. Menurut Dr. An Nadwi bahwa golongan Hanafiah merupakan yang pertama kali mempelajari kaidah fiqhiyah. Beberapa informasi yang menyatakan hal tersebut termaktub dalam beberapa literatur di antaranya, Alaby (761 H), As Suyuthi (911 H) dan Ibnu Najm (970 H) dalam Al Qawaid menyatakan bahwa Imam Ad Dibas pada abad 4 Hijriyah telah mengumpulkan beberapa kaidah-kaidah Mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah. Imam Ad Dibas membaca kaidah-kaidah tersebut berulang kali setiap malam di masjid yang kemudian Abu Said al Harawi Al Syafii menukil dari Ad Dibas beberapa kaidah-kaidah tersebut. Imam al Karkhi (340 H) menyusun sebuah catatan yang berisi 37 kaidah, kemudian dari golongan Hanafiyah muncul Imam al Khusyni (361 H) dengan karyanya ushul al fataya. Dan setelah itu muncul Abi Laits Al
5
Samarqandi (373 H) dengan karyanya ta’sis al nadhri yang identik dengan karya Abi Zaid Ad Dibasi (430 H) dengan sedikit perbedaan. Pada abad ke-7 H qawaid fiqhiyah mengalami perkembangan yang sangat rancak. Di antara ulama yang menulis kitab qawaid pada abad ini adalah al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613 H). Ia menulis kitab dengan judul “al-Qawaid fi Furu’I al- Syafi’iyah”. Kemudian al-Imam Izzudin Abd al-Salam (w. 660 H) menulis kitab “Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” yang sempat menjadi kitab terkenal. dari kalangan madzhab Maliki Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-bakri al-Qafshi (685 H) menulis “al-Mudzhb fi Qawaid alMadzhab” dan masih banyak lagi. Karya-karya ini menunjukan bahwa qawaid fiqhiyah mengalami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H. Qawaid fiqhiyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikit mulai meluas. Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyah mengalami masa keemasan, dengan banyak bermunculannya kitab-kitab Qawaid fiqhiyah. Perkembangan ini terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya para ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat misalnya pada kitab Ibnu al-Mulaqqin dan Taqiyuddin al-Hishni. Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Pada abad X H, pengkodifikasian qawaid fiqhiyah semakin berkembang. Imam al-Sayuti (w. 911 H) telah berusaha mengumpulkan qaidah fiqhiyah yang paling penting dari karya al-‘Alai, al-Subaki dan alZarkasyi. Ia mengumpulkan kaidah-kaidah tersebut dalam kitabnya alAsybah wa al-Nadhair. Kitab-kitab karya ketiga tokoh ulama tersebut masih mencakup qawaid ushuliyah dan qawaid fiqhiyah, kecuali kitab karya al-Zarkasyi. Pada abad XI dan XII H, ilmu qawaid fiqhiyyah terus berkembang. Dengan demikian, fasa kedua dari ilmu qawaid fiqhiyah adalah fasa perkembangan dan pembukuan. Fasa ini ditandai dengan munculnya al-Karkhi dan al-Dabbusi. Para ulama yang hidup dalam
6
rentang waktu ini (abad IV-XII) hampir dapat menyempurnakan ilmu qawaid fiqhiyah. 3. Fasa Kematangan dan Penyempurnaan Abad X H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah “seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya” Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah : “seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin. Pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh Fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Azis Khan al-Utsmani (1861-1876 M) pada akhir abad XIII H. Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan lembaga-lembaga peradilan pada masa itu.2 C. Faktor Kemunculan Qawaid Fiqiyyah Antara faktor yang membawa kepada terbentuknya kaedah fiqhiyyah ini ialah peranan para ulama’ dan mujtahid. Golongan ini memainkan peranan mereka menggunakan akal fikiran berdasarkan ilmu daripada sumber perundangan, selaras dengan konsep syariat yang sesuai dilaksanakan tanpa mengira masa dan tempat. Justeru itulah para mujtahid berusaha dengan berijtihad untuk memahami nas-nas dan mempraktikkan kaedah-kaedah yang umum terhadap masalah furu’ yang baru dan sentiasa muncul.
Sebagai
contoh, melalui konsep al-Qiyas, Istihsan, ‘Uruf serta berbagai sumber lain lagi. Oleh yang demikian, apabila terdapat hukum furu’ yang sama ‘illah atau sebabnya, ia digabungkan dalam kaedah umum iaitu al-Qawaid al-Kulliyyah al-‘Ammah. Kaedah ini merupakan kaedah umum serta menyeluruh yang meliputi semua hukum furu’ dan segala bahagiannya. 2
Al-Nadw, Ali Ahmad. Al-Qawaid Al-Fiqhiyah. cet .V. Beirut: Dar al-Qalam.1998. hal. 102-
112
7
Walaupun dalam rangka ijtihad terdapat dalil-dalil yang bersifat zanni yang diperselisihkan dalam kalangan ulama’ dan para mujtahid, namun mereka semua bersatu dan bersepakat berusaha ke arah yang terbaik demi mencari keredhaan Allah SWT. Dalam konteks lain, para ulama’ dan mujtahid mengkaji dan mendalami semua ruang serta sumber perundangan Islam yang luas dan berijtihad dengan ilmu yang mereka ada untuk memahami nas-nas dalam mengkaji prinsip-prinsip syariat yang sesuai dengan keadaan masa dan tempat. Justeru itu, mereka mempraktikkkan kaedah yang berbentuk umum terhadap masalah khusus atau furu’ yang baru serta sentiasa wujud dalam masyarakat. Antara faktor lain yang membawa kepada terbentuknya kaedah fiqhiyyah ini sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama’ dan fakta sejarah ialah kerana terdapat nas-nas yang dapat ditafsirkan dengan berbagai-bagai. Iaitu ada nas yang berbentuk umum yang merangkumi pelbagai masalah, dan ada nas
yang
mutlaq
yang
mana
melahirkan
pendapat-pendapat
untuk
mengikatnya atau untuk memuqayyadkannya. Selain itu, kaedah fiqhiyyah ini juga muncul akibat terdapat kaedah-kaedah umum yang berasaskan adat kebiasaan yang muncul dalam perkembangan hidup manusia dari satu generasi ke satu generasi lain untuk disesuaikan dengan masalah-masalah hukum furu’. Oleh yang demikian, ia memerlukan sumber-sumber akal fikiran dan amalanamalan yang berterusan sebagai adat atau ‘uruf untuk mengeluarkan hukum yang fleksibel di samping untuk menangani persoalan semasa yang sentiasa wujud dan berterusan sehinggan kini. Sebagai rumusannya, disebabkan oleh masalah fiqh dan furu’ yang terlalu banyak dan luas, maka perlulah kepada penetapan prinsip-prinsip atau kaedahkaedah
tertentu
agar
menjadi
mudah
untuk
mengembalikan
atau
menggolongkan masalah-masalah fiqh yang lahir.3
3
Usman, Muslih. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta : Rajawali Pers. 1999. Hal. 117-124
8
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Sejarah perkembangan qawaid fiqhiyyah menurut Ali Ahmad al-Nadawi dapat dibagi ke dalam tiga fase, yaitu: 1.
Fase pertumbuhan dan pembentukan
2.
Fase perkembangan dan kodifikasi
3.
Fase kematangan dan penyempurnaan
Dari ketiga fase tersebut, dapat kita ketahui bahwa: 1. Kaidah-kaidah yang terdapat dalam lembaran-lembara kitab fiqh yang ditulis oleh para pendiri dan pemuka madzhab seluruhnya bukan berupa kaidah umum, namun masih dalam bentuk qa’idah madzhab. 2. Sebagian besar kaidah yang dibukukan pada abad-abad belakang atau sekarang, ternyata telah dikemukakan oleh para ulama sebelumnya dengan redaksi yang berbeda. Misalnya dalam Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ada kaidah (pengakuan adalah hujjah yang terbatas). 3. Qawaid fiqhiyyah terbentuk menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri secara berangsur-angsur. Di samping itu dalam pembuatannya pun para fuqaha membentuknya secara bertahap. Pada awalnya, hanya berupa pemikiran tentang suatu persoalan, kemudian setelah pemikiran tersebut mantap, baru mereka bentuk menjadi sebuah kaidah. B. Saran Penulis menyadari makalah ini masih banyak kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sebagai pedoman penulisan makalah yang lebih baik kedepannya.
9
DAFTAR PUSTAKA
Al-Nadw, Ali Ahmad. Al-Qawaid Al-Fiqhiyah. cet .V. Beirut: Dar al-Qalam.1998. Djazuli, HA. Kaidah-kaidah fiqh. Jakarta : kencana. 2006. Usman, Muslih. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta : Rajawali Pers. 1999.
10
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan atas rahmat yang diberikan Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu penulis dalam membuat makalah ini dan teman-teman yang telah memberi motivasi dan dorongan serta semua pihak yang berkaitan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan baik dan tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.
Bengkulu, Januari 2018
Penyusun
i 11
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR......................................................................................
i
DAFATR ISI....................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang....................................................................................
1
B. Rumusan Masalah...............................................................................
1
C. Tujuan Penulisan................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian qawa’id al-fiqhiyah............................................................
2
B. Sejarah Qawaid Fiqiyyah......................................................................
2
C. Faktor Kemunculan Qawaid Fiqiyyah..................................................
7
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan...........................................................................................
9
B. Saran.....................................................................................................
9
DAFTAR PUSTAKA
ii
12 ii
MAKALAH QAWAID FIQIYYAH “SEJARAH QAWAID FIQIYYAH”
Disusun Oleh: YOLANDA LORENZA 1416132078
Dosen Pembimbing : BADRUN TAMAN, M.Si
PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU 2018
13