BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Nyeri, menurut International Association for Study of Pain (IASP),adalah merupakan pengalaman sensoris subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan, yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan yang nyata, berpotensi rusak, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.Nyeri adalah konsekuensi yang dapat diperkirakan dari adanya trauma maupun tindakan pembedahan (Polomano, et al., 2008). Nyeri disepakati oleh American Pain Society sebagai tanda vital kelima atau“the fifth vital sign”. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadaran penanganan nyeri di antara petugas kesehatan professional (Smeltzer & Bare, 2008).Dengan penanganan sesuai kebutuhan terhadap nyeri yang ditunjukkan oleh pasien, pasienakan merasa nyaman dan dapat mempercepat penyembuhan (Rosdahl & Kowalsky, 2008). Dengan demikian, diperlukan suatu pengelolaan nyeri yang optimal, salah satunya adalah dengan pemakaian obat-obat analgetik dari golongan nonsteroidal anti inflammatory drug (NSAID). (Adiyani. P, 2014) NSAID (Non Steroidal Anti-inflammatory Drugs) adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas), dan antiinflamasi (anti radang).Istilah “non steroid” digunakan untuk membedakan jenis obat-obatan ini dengan steroid, yang juga memiliki khasiat serupa.NSAID bukan tergolong obat-obatan jenis narkotika.NSAID memiliki efek perifer dengan menghambat kerja enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin terganggu, yang pada akhirnya juga akan menghambat aktivasi nosiseptor perifer yang penting pada proses patofisiologi nyeri (Mc.Quay, 2006), untuk mengkaji nyeri itu sendiri efikasi adalah suatu hal yang perlu dipertimbangkan dalam setiap pemberian analgetik pada pengelolaan nyeri pasca bedah. Salah satu aspek penilaian efikasi adalah dengan menilai derajat nyeri yang dirasakan oleh pasien yang dapat diukur dengan skor Visual Analogue Scale (VAS).VAS merupakan
1
penilaian nyeri yang paling banyak digunakan karena mudah dipahami dan cepat untuk penggunaannya. (Villanueva, 2003) RSUD Nganjuk yang merupakan salah satu rumah sakit besar di kabupaten Nganjuk yang aktif melaksanakan tindakan pembedahan dengan banyak penggunaan obatgolongan NSAID untuk mengatasi nyeri pasca pembedahan, beberapa diantaranya adalah Ketorolac, Deksketoprofen, dan Paracetamol.Oleh karena itu kami tertarik untuk mengkaji mana yang lebih efektif sebagai analgetik manajemen nyeri karena tingginya angka morbiditas pasca bedah dapat menyebabkan bertambahnya waktu penyembuhan, lama tinggal, dan menambah biaya rawat di rumah sakit, Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Fanny Pritaningrum (2010) yang membandingka nilai VAS antara Deksketoprofen dan Ketorolac, namun penelitian yang membandingkan antara Ketorolac, Deksketoprofen, Paracetamol belum pernah dilakulan sebelumnya.
I.2
Rumusan Masalah Manakah yang lebih efektif antara ketorolac, deksketoprofen, dan paracetamol
sebagai obat analgetik pilihan yang digunakan di RSUD Nganjuk untuk mengatasi nyeri pasca pembedahan?
I.3
Tujuan
I.3.1
Tujuan Umum Mengetahui efektifitas pemberian obat analgetik pilihan di RSUD Nganjuk
dengan menilai nyeri menggunakan parameter penilaian VAS.
2
I.3.2
Tujuan Khusus 1. Menilai Visual Analog Scale pada pasien pasca pembedahan dengan pemberian Injeksi Ketorolac. 2. Menilai Visual Analog Scale pada pasien pasca pembedahan dengan pemberian Injeksi Deksketoprofen. 3. Menilai Visual Analog Scale pada pasien pasca pembedahan dengan pemberian Infus Paracetamol. 4. Menganalisis perbedaan skor VAS pasca pembedahan dengan pemberian obat analgetik yang berbeda satu dengan yang lain.
I.4
Manfaat
I.4.1
Bagi Institusi Kesehatan Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menjadi sebuah acuan dalam pemilihan pemberian analgetik untuk manajemen nyeri pada pasien pasca pembedahan.
I.4.2
Bagi Peneliti 1.Menambah pengetahuan mengenai pentingnya mengatasi nyeri yang timbul sebagai komplikasi tindakan pembedahan. 2. Mengetahui efektivitas pemberian obat analgetik pada pasien pasca pembedahan dengan membandingkan tiga sampel obat.
I.4.3
Bagi Pengembangan Ilmu Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi salah satu acuan dalam bidang kesehatan khususnya untuk manajemen nyeri dan menjadi referensi untuk digunakan dalam penelitian selanjutnya.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 FISIOLOGI NYERI Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP, 1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan.Sebagai mana diketahui bahwa nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai.Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan hanya bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya serta tes laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti orang tua, anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi (Silva, 2013) Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau paska pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak dari nyeri itu sendiri akan menimbulkan respon stres metabolik (MSR) yang akan mempengaruhi semua sistem tubuh dan memperberat kondisi pasiennya. Hal ini akan merugikan pasien akibat timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi pasien itu sendiri, seperti :(Silva, 2013)
Perubahan kognitif (sentral) : kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan putus asa
Perubahan neurohumoral : hiperalgesia perifer, peningkatan kepekaan luka
Plastisitas neural (kornudorsalis), transmisi nosiseptif yang difasilitasi sehingga meningkatkan kepekaan nyeri
Aktivasi simpatoadrenal : pelepasan renin, angiotensin, hipertensi, takikardi
Perubahan neuroendokrin : peningkatan kortisol, hiperglikemi, katabolisme
4
Gambar II.1. Efek fisiologis dan psikologis yang berhubungan dengan nyeri akut akibat kerusakan jaringan yang disebabkan oleh proses pembedahan atau trauma. (Sinatra, 2009)
Nyeri pembedahan sedikitnya mengalami dua perubahan, pertama akibat pembedahan itu sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang kedua setelah proses pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar operasi, dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia (prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P dan lekotrein) oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia yang dilepaskan inilah yang berperan pada proses transduksi dari nyeri. (Silva, 2013)
5
II.2 MEKANISME NYERI Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif.Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak.(Meliala, 2008) Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi. (Meliala, 2008)
II.2.1 Sensitisasi Perifer Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan +
komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K , pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor. Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).(Bushnell, 2006) Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan sensitisasi akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.(Bushnell, 2006)
6
II.2.2 Sensitisasi Sentral Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral juga dapat mengalami sensitisasi.Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron (transcription dependent). (Bushnell, 2006) Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif kedalam medulla spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif. Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih sensitif terhadap rangsangan nyeri.(Bushnell, 2006)
7
II.3 NOSISEPTOR (RESEPTOR NYERI)
Gambar II.3 Nosiseptor ( Reseptor Nyeri) (Sherwood,2012)
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral dan vaskular.Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab terhadap kehadiran stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal.Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang memiliki
energi
yang
cukup
untuk
melampaui
ambang
batas
stimulus
(resting).Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke SSP untuk interpretasi nyeri.(Frizelle, 2006) Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan thalamus.Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya,
8
reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi.Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan.Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya minimal.Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemia kulit bisa terjadai pada 20 sampai 30 menit.(Meyer, 2006) Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda.Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin).Beberapa reseptor A-beta mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat –serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta.(Meyer, 2006) Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didesain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada keadaan yang potensial merusak.Banyak stimulus yang sifatnya merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada struktur viseralis.Selain itu inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi. (Meyer, 2006)
II.4 PERJALANAN NYERI (NOCICEPTIVE PATHWAY) Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex cerebri). (Dharmono, 2007)
9
Gambar II.4 Pain Pathway.( David Klemm, 2002)
II.4.1 Proses Transduksi Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer. (Dharmono, 2007)
II.4.2 Proses Transmisi Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, 10
dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus
spinothalamicus
dan
sebagian
ke
traktus
spinoretikularis.
Traktus
spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi.Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin.Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.(Dharmono, 2007)
II.4.3 Proses Modulasi Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis.Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut.Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang.(Dharmono, 2007)
II.4.4 Persepsi Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik.(Dharmono, 2007)
II.5 MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIK Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral. Golongan obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak
11
terjadi. Sedangkan analgetik opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi. (Arici, 2009) Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang mengalami metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas ini akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi, edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga prostaglandin meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap suatu rangsangan nyeri (nosiseptif). (Arici, 2009) Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat.Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan kedua efek yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan perdarahan).Aktifitas COX dihubungkan dengan dua isoenzim, yaitu ubiquitously dan constitutive yang diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi COX-2.COX-1 terutama terdapat pada mukosa lambung, parenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti agregasi platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan menimbulkan inflamasi, demam, nyeri dan kardiogenesis.Regulasi COX-2 yang transien di medulla spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam sensitisasi sentral. (Arici, 2009)
II.6 KLASIFIKASI NYERI Kejadian nyeri memiliki sifat yang unik pada setiap individual bahkan jika cedera fisik tersebut identik pada individual lainnya. Adanya takut, marah, kecemasan, depresi dan kelelahan akan mempengaruhi bagaimana nyeri itu dirasakan. Subjektifitas nyeri membuat sulitnya mengkategorikan nyeri dan mengerti mekanisme nyeri itu sendiri.Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengklasifikasi nyeri adalah berdasarkan durasi (akut, kronik), patofisiologi
12
(nosiseptif, nyeri neuropatik) dan etiologi (paska pembedahan, kanker). (Bushnell, 2006)
II.6.1 Nyeri Akut dan Kronik Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang terbatas setelah nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus istirahat.Nyeri akut ini dialami segera setelah pembedahan sampai tujuh hari. (Fields, 2006) . Sedangkan nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai malignan atau nonmalignan yang dialami pasien paling tidak 1 – 6 bulan.Nyeri kronik malignan biasanya disertai kelainan patologis dan indikasi sebagai penyakit yang life-limiting disease seperti kanker, end-stage organ dysfunction, atau infeksi HIV.Nyeri kronik kemungkinan mempunyai baik elemen nosiseptif dan neuropatik. Nyeri kronik nonmalignan (nyeri punggung, migrain, artritis, diabetik neuropati) sering tidak disertai kelainan patologis yang terdeteksi dan perubahan neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar (dorsal horn pada spinal cord) akan membuat pengobatan menjadi lebih sulit. (Fields, 2006)
Pasien dengan nyeri akut atau kronis bisa memperlihatkan tanda dan gejala sistem saraf otonom (takikardi, tekanan darah yang meningkat, diaforesis, nafas cepat) pada saat nyeri muncul.Guarding biasa dijumpai pada nyeri kronis yang menunjukkan allodinia. Meskipun begitu, muncul ataupun hilangnya tanda dan gejala otonom tidak menunjukkan ada atau tidaknya nyeri. (Fields, 2006)
II.6.2 Nosiseptif dan Nyeri Neuropatik Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik.Nyeri nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan kimia, mekanik dan suhu yang menyebabkan aktifasi maupun sensitisasi pada nosiseptor perifer (saraf yang bertanggung jawab terhadap rangsang nyeri).Nyeri nosiseptif biasanya memberikan respon terhadap analgesik opioid atau non opioid. (Frizelle, 2006)
13
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang ditimbulkan akibat kerusakan neural pada saraf perifer maupun pada sistem saraf pusat yang meliputi jalur saraf aferen sentral dan perifer, biasanya digambarkan dengan rasa terbakar dan menusuk.Pasien yang mengalami nyeri neuropatik sering memberi respon yang kurang baik terhadap analgesik opioid. (Frizelle, 2006)
II.6.3 Nyeri Viseral dan Nyeri Somatik II.6.3.1 Nyeri Viseral Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan tubuh jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama dengan asal nyeri. Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti kontraksi ritmis otot polos.Nyeri viseral seperti keram sering bersamaan dengan gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi
ureteral,
menstruasi,
dan
distensi
uterus
pada
tahap
pertama
persalinan.(Bielefeld, 2006) Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otot-otot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi terjadi pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak dan keras sering digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika organ lunak terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena. (Bielefeld, 2006) Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter.Distensi pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin iskemia karena kompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan distensi berlebih dari jaringan. (Bielefeld, 2006) Rangsang nyeri yang berasal dari sebagian besar abdomen dan toraks menjalar melalui serat aferen yang berjalan bersamaan dengan sistem saraf simpatis, dimana rangsang dari esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus dan glossopharyngeal, impuls dari struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantar melalui nervus parasimpatis di sakral. Impuls nyeri dari jantung menjalar dari sistem saraf simpatis ke bagian tengah ganglia cervical, ganglion stellate, dan bagian pertama dari
14
empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls ini masuk ke spinal cord melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5.Penyebab impuls nyeri yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia miokard.Parenkim otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor.Adapun, bronkus dan pleura parietal sangat sensitif pada nyeri. (Bielefeld, 2006)
II.6.3.2 Nyeri Somatik Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit, jaringan subkutan, membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan peritoneum. Nyeri insisi bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi peritoneal adalah nyeri somatik.Penyakit yang menyebar pada dinding parietal, yang menyebabkan rasa nyeri menusuk disampaikan oleh nervus spinalis.Pada bagian ini dinding parietal menyerupai kulit dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi pada peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum viseralis tidak nyeri sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri parietal biasanya terlokalisasi langsung pada daerah yang rusak. (Meyer, 2006) Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi dari nyeri dari viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang sama. Sebagai contoh, rangsang nyeri berasal dari apendiks yang inflamasi melalui serat – serat nyeri pada sistem saraf simpatis ke rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke T11.Nyeri ini menjalar
ke
daerah
umbilikus
dan
nyeri
menusuk
dan
kram
sebagai
karakternya.Sebagai tambahan, rangsangan nyeri berasal dari peritoneum parietal dimana inflamasi apendiks menyentuh dinding abdomen, rangsangan ini melewati nervus spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2.Nyeri menusuk berlokasi langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan bawah.(Meyer, 2006)
15
II.7 PENILAIAN NYERI
Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi nyeri paska pembedahan yang efektif.Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk menilai derajat nyeri.Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan.Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini: (Tabolt, 2006)
1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari senyuman sampai menangis karena kesakitan.Skala ini berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.
Gambar II.7.1 Wong Baker Faces Pain Rating Scale (Tamsuri, 2007)
16
2. Verbal Rating Scale (VRS) Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala lima poin ; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.
Gambar II.7-2. Verbal Rating Scale (Tamsuri, 2007)
3. Numerical Rating Scale (NRS) Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.
Gambar II.7-3. Numerical Rating Scale (Tamsuri, 2007)
4. Visual Analogue Scale (VAS)
17
Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan.Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic penyelamat (rescue analgetic).
Gambar II.7-4. Visual Analogue Scale (Tamsuri, 2007)
18
II.8 PENANGANAN NYERI Penanganan nyeri paska pembedahan yang efektif harus mengetahui patofisiologi dan pain pathway sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara farmakoterapi (multimodal analgesia), pembedahan, serta juga terlibat didalamnya perawatan yang baik dan teknik non-farmakologi (fisioterapi, psikoterapi). (White, 2007)
II.8.1 Farmakologis Modalitas analgetik paska pembedahan termasuk didalamnya analgesik oral parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan opioid intraspinal. (Silva, 2013) Pemilihan teknik analgesia secara umum berdasarkan tiga hal yaitu pasien, prosedur dan pelaksanaannya.Ada empat grup utama dari obat-obatan analgetik yang digunakan untuk penanganan nyeri paska pembedahan.(Silva, 2013) Tabel II.8-1. Obat farmakologis untuk penanganan nyeri. (Santoso, 2004)
19
Tabel II.8-2.Pilihan terapi untuk penanganan nyeri berdasarkan jenisoperasi. (Santoso, 2004)
20
21
Pedoman terapi pemberian analgesia untuk penanganan nyeri paska pembedahan
berdasarkan
intensitas
nyeri
yang
dirasakan
penderita
yang
direkomendasikan oleh WHO dan WFSA.Dimana terapi analgesia yang diberikan pada intensitas nyeri yang lebih rendah, dapat digunakan sebagai tambahan analgesia pada tingkat nyeri yang lebih tinggi.(Silva, 2013)
II.8.1.1 Analgesia Multimodal Analgesia multimodal menggunakan dua atau lebih obat analgetik yang memiliki mekanisme kerja yang berbeda untuk mencapai efek analgetik yang maksimal tanpa dijumpainya peningkatan efek samping dibandingkan dengan peningkatan dosis pada satu obat saja. Dimana analgesi multimodal melakukan intervensi nyeri secara berkelanjutan pada ketiga proses perjalanan nyeri, yakni: (Meliala, 2008) 1. Penekanan pada proses tranduksi dengan menggunakan AINS 2. Penekanan pada proses transmisi dengan anestetik lokal (regional) 3. Peningkatan proses modulasi dengan opioid Analgesia multimodal merupakan suatu pilihan yang dimungkinkan dengan penggunaan parasetamol dan AINS sebagai kombinasi dengan opioid atau anestesi lokal untuk menurunkan tingkat intensitas nyeri pada pasien-pasien yang mengalami nyeri paska pembedahan ditingkat sedang sampai berat.Analgesia multimodal selain harus diberikan secepatnya (early analgesia), juga harus disertai dengan inforced mobilization (early ambulation) disertai dengan pemberian nutrisi nutrisi oral secepatnya (early alimentation).(Meliala, 2008)
II.8.1.2 Analgesia Preemptif Analgesia preemptif artinya mengobati nyeri sebelum terjadi, terutama ditujukan pada pasien sebelum dilakukan tindakan operasi (pre-operasi).Pemberian analgesia sebelum onset dari rangsangan melukai untuk mencegah sensistisasi sentral dan membatasi pengalaman nyeri selanjutnya.Analgesia preemptif mencegah kaskade neural awal yang dapat membawa keuntungan jangka panjang dengan menghilangkan
22
hipersensitifitas yang ditimbulkan oleh rangsangan luka. Dengan cara demikian keluhan nyeri paska bedah akan sangat menurun dibandingkan dengan keluhan nyeri paska pembedahan tanpa memakai cara analgesia preemptif. Bisa diberikan obat tunggal, misalnya opioid, ketorolak, maupun dikombinasikan dengan opioid atau AINS lainnya, dilakukan 20 – 30 menit sebelum tindakan operasi. (Meliala, 2008)
II.8.1.3 PCA (Patient Control Analgesia) Pasien dikontrol nyerinya dengan memberikan obat analgesik itu sendiri dengan memakai alat (pump), dosis diberikan sesuai dengan tingkatan nyeri yang dirasakan. PCA bisa diberikan dengan caraIntravenous Patient Control Analgesia (IVPCA) atau Patient Control Epidural Analgesia (PCEA), namun dengan cara ini memerlukan biaya yang mahal baik peralatan maupun tindakannya.(Meliala, 2008)
II.8.1.4 NSAID (Non Steroidal Anti-Inflammatory Drugs) Obat antiinflamasi (anti radang) non steroid, atau yang lebih dikenal dengan sebutan NSAID (Non Steroidal Anti-inflammatory Drugs) adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas), dan antiinflamasi (anti radang).Istilah “non steroid” digunakan untuk membedakan jenis obat-obatan ini dengan steroid, yang juga memiliki khasiat serupa.NSAID bukan tergolong obat-obatan jenis narkotika. (Mc.Quay, 2006) Mekanisme kerja NSAID didasarkan atas penghambatan isoenzim COX-1 (cyclooxygenase-1) berperan
dalam
dan
COX-2
memacu
(cyclooxygenase-2).Enzim cyclooxygenase ini
pembentukan
prostaglandin
dan
tromboksan
dari arachidonic acid. Prostaglandin merupakan molekul pembawa pesan pada proses inflamasi (radang). (Mc.Quay, 2006) NSAID
dibagi
lagi
menjadi
beberapa
golongan,
yaitu golongan
salisilat (diantaranya aspirin/asam asetilsalisilat, metil salisilat, magnesium salisilat, salisil salisilat, dan salisilamid), golongan asam arilalkanoat (diantaranya diklofenak, indometasin,
proglumetasin,
dan
oksametasin), golongan
profen/asam
2-
23
arilpropionat (diantaranya ibuprofen, alminoprofen, fenbufen, indoprofen, naproxen, dan ketorolac), golongan asam fenamat/asam N-arilantranilat (diantaranya asam mefenamat,
asam
flufenamat,
dan
asam
tolfenamat), golongan
turunan
pirazolidin(diantaranya fenilbutazon, ampiron, metamizol, dan fenazon), golongan oksikam (diantaranya piroksikam, dan meloksikam), golongan penghambat COX2 (celecoxib,
lumiracoxib), golongan
sulfonanilida (nimesulide),
serta golongan
lain (licofelone dan asam lemak omega 3). (Mc.Quay, 2006) Penggunaan NSAID yaitu untuk penanganan kondisi akut dan kronis dimana terdapat kehadiran rasa nyeri dan radang.Walaupun demikian berbagai penelitian sedang dilakukan untuk mengetahui kemungkinan obat-obatan ini dapat digunakan untuk penanganan penyakit lainnya seperti colorectal cancer, dan penyakit kardiovaskular. (Mc.Quay, 2006) Secara umum, NSAID diindikasikan untuk merawat gejala penyakit berikut: rheumatoid arthritis, osteoarthritis, encok akut, nyeri haid, migrain dan sakit kepala, nyeri setelah operasi, nyeri ringan hingga sedang pada luka jaringan, demam, ileus, dan renal colic. (Mc.Quay, 2006) Sebagian besar NSAID adalah asam lemah, dengan pKa 3-5, diserap baik pada lambung dan usus halus.NSAID juga terikat dengan baik pada protein plasma (lebih dari 95%), pada umumnya dengan albumin.Hal ini menyebabkan volume distribusinya bergantung pada volume plasma. NSAID termetabolisme di hati oleh proses oksidasi dan konjugasi sehingga menjadi zat metabolit yang tidak aktif, dan dikeluarkan melalui urin atau cairan empedu. (Mc.Quay, 2006) NSAID merupakan golongan obat yang relatif aman, namun ada 2 macam efek samping utama yang ditimbulkannya, yaitu efek samping pada saluran pencernaan (mual, muntah, diare, pendarahan lambung, dan dispepsia) serta efek samping pada ginjal (penahanan garam dan cairan, dan hipertensi). Efek samping ini tergantung pada dosis yang digunakan.Obat ini tidak disarankan untuk digunakan oleh wanita hamil, terutama pada trimester ketiga. Namun parasetamol dianggap
24
aman digunakan oleh wanita hamil, namun harus diminum sesuai aturan karena dosis tinggi dapat menyebabkan keracunan hati (Mc.Quay, 2006) II.8.1.5 Parasetamol Parasetamol banyak digunakan sebagai obat analgetik dan antipiretik, dimana kombinasi parasetamol dengan opioid dapat digunakan untuk penanganan nyeri berat paska pembedahan dan terapi paliatif pada pasien-pasien penderita kanker.Onset analgesia dari parasetamol 8 menit setelah pemberian intravena, efek puncak tercapai dalam 30 – 45 menit dan durasi analgesia 4 – 6 jam serta waktu pemberian intravena 2 – 15 menit.Parasetamol termasuk dalam kelas “aniline analgesics” dan termasuk dalam
golongan
obat
antiinflamasi
non
steroid
(masih
ada
perbedaan
pendapat).Parasetamol memiliki efek anti inflamasi yang sedikit dibandingkan dengan obat AINS lainnya. Akan tetapi parasetamol bekerja dengan mekanisme yang sama dengan obat AINS lainnya (menghambat sintesa prostaglandin). Parasetamol juga lebih baik ditoleransi dibandingkan aspirin dan obat AINS lainnya pada pasienpasien dengan sekresi asam lambung yang berlebihan atau pasien dengan masa perdarahan yang memanjang. (Unal, 2010) Dosis pada orang dewasa sebesar 500 – 1000 mg, dengan dosis maksimum direkomendasi 4000 mg perhari.Pada dosis ini parasetamol aman digunakan untuk anak-anak dan orang dewasa.(Gunawan, 2007) Mekanisme kerja utama dari parasetamol adalah menghambat siklooksigenase (COX) dan selektif terhadap COX-2. Analgetik dan antipiretik dari parasetamol sebanding dengan aspirin dan obat AINS lainnya, akan tetapi aktifitas anti inflamasi perifernya dibatasi oleh beberapa faktor, dimana diantaranya terdapat kadar peroksida yang tinggi di lesi inflamasi. Oleh karena itu selektifitas akan COX-2 tidak secara signifikan menghambat produksi pro-clotting tromboxane. Parasetamol menurunkan bentuk oksidasi dari enzim COX, yang melindungi dari pembentukan kimiawi bentuk pro-inflammatory. Ini juga akan menurunkan jumlah dari prostaglandin E2 di SSP, akibatnya menurunkan batas ambang hipotalamus di pusat termoregulasi. (Korkmaz, 2010)
25
Parasetamol menghambat kerja COX dengan dua jalur, yang pertama bekerja dengan cara menghambat COX-3 (variant dari COX-1). Enzim COX-3 ini hampir sama dengan enzim COX lainnya dengan menghasilkan kimiawi pro-inflammatory dan penghambat selektif oleh parasetamol. Jalur kedua bekerja seperti aspirin dengan memblok siklooksigenase, dimana didalam lingkungan inflamasi dengan konsentrasi peroksida yang tinggi dan melindungi aksi kerja parasetamol dalam keadaan oksidasi tinggi. Ini berarti bahwa parasetamol tidak memiliki efek langsung pada tempat inflamasi, akan tetapi bereaksi di SSP dimana keadaan lingkungan tidak teroksidasi. Namun
mekanisme
kerja
pasti
dari
parasetamol
di
COX-3
masih
diperdebatkan.(Korkmaz, 2010) Bioavailibilitas dari parasetamol adalah 100%. Parasetamol dimetabolisme di hati dengan tiga jalur metabolik, yakni glucuronidation 40%, sulfation 20-40% dan N-hydroxylation serta GSH konjugasi 15%, dengan obat dan metabolitnya diekskresikan melalui ginjal. (Cakan, 2008) Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi lambung, tidak mempengaruhi koagulasi darah atau fungsi ginjal.Parasetamol dipercaya aman digunakan pada wanita hamil (tidak mempengaruhi penutupan ductus arteriosus), tidak seperti efek yang ditimbulkan oleh penggunaan obat AINS.Tidak seperti aspirin, parasetamol tidak berhubungan dengan resiko penyebab sindroma Reye pada anak-anak dengan penyakit virus.(Cakan, 2008)
II.8.1.6 Ketorolak Ketorolak atau ketorolak trometamin merupakan obat golongan anti inflamasi non steroid, yang masuk kedalam golongan derivate heterocyclic acetic acid dimana secara struktur kimia berhubungan dengan indometasin.Ketorolak menunjukkan efek analgesia yang poten tetapi hanya memiliki aktifitas anti inflamasi yang sedang bila diberikan secara intramuskular atau intravena.Ketorolak dapat dipakai sebagai analgesia paska pembedahan sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan opioid, dimana ketorolak mempotensiasi aksi nosiseptif dari opioid.(Katzung, 2004)
26
Mekanisme kerja utama dari ketorolak adalah menghambat sistesa prostaglandin dengan berperan sebagai penghambat kompetitif dari enzim siklooksigenase (COX) dan menghasilkan efek analgesia.Seperti AINS pada umumnya, ketorolak merupakan penghambat COX non selektif. Efek analgesianya 200 – 800 kali lebih poten dibandingkan dengan pemberian aspirin, indometasin, naproksen dan fenil butazon pada beberapa percobaan di hewan. Satusatunya efek samping dari penggunaan parasetamol adalah resiko terjadi hepatotoksik dan gangguan gastrointestinal pada penggunaan dosis tinggi, yaitu diatas 20.000 mg perhari. (Katzung, 2004) Sedangkan efek anti inflamasinya kurang dibandingkan efek analgesianya, dimana efek anti inflamasinya hampir sama dengan indometasin. Setelah injeksi intramuskular dan intravena, onset analgesia tercapai dalam waktu 10 menit dengan efek puncak 30 – 60 menit dan durasi analgesia 6 – 8 jam dengan waktu pemberian intravena > 15 detik. Bioavailibilitas dari ketorolak 100% dengan semua jalur pemberian baik intravena maupun intramuskular.Metabolisme berkonjugasi dengan asam glukoronik dan para hidroksilasi di hati. Obat dan hasil metabolitnya akan diekskresikan melalui ginjal 90% dan bilier sekitar 10%. (Setyono, 2009)
Efek samping dari ketorolak bisa bermacam-macam, yaitu: (Gunawan, 2007) 1. Secara umum Bronkospasme yang mengancam jiwa pada pasien dengan penyakit nasal poliposis, asma dan sensitif terhadap aspirin. Dapat juga terjadi edema laring, anafilaksis, edema lidah, demam dan flushing. 2. Fungsi platelet dan hemostatik Ketorolak menghambat asam arakhidonat dan kolagen sehingga mencetuskan agregasi platelet sehingga waktu perdarahan dapat meningkat pada pasien yang mendapatkan anestesi spinal, akan tetapi tidak pada pasien yang mendapat anestesi umum. Perbedaan ini dimungkinkan karena reflek status hiperkoagulasi yang dihasilkan respon neuroendokrin karena stress pembedahan berbeda pada anestesi
27
umum dan anestesi spinal. Dapat juga terjadi purpura, trombositopeni, epistaksis, anemia dan leukopeni.
3. Gastrointestinal Dapat menimbulkan erosi mukosa gastrointestinal, perforasi, mual, muntah, dispepsia, konstipasi, diare, melena, anoreksia dan pankreatitis. 4. Kardiovaskuler Hipertensi, palpitasi, pallor dan syncope 5. Dermatologi Ruam, pruritus, urtikaria, sindroma Stevens-Jhonson, sindroma Lyell 6. Neurologi Nyeri kepala, pusing, somnolen, berkeringat, kejang, vertigo, tremor, halusinasi, euforia, insomnia dan gelisah. 7. Pernafasan Dispnu, asma, edema paru, rhinitis dan batuk 8. Urogenital Gagal ginjal akut dan poliuri.
II.8.1.7Deksketoprofen Deksketoprofen trometamol merupakan garam tromethamine dari S-(+)-2-(3benzoylpheyl) propionic acid.Deksketoprofen dikembangkan dari molekul ketoprofen. Ketoprofen merupakan senyawa stereo isomer yaitu senyawa yang memiliki 2 molekul isomer yang saling berbeda putaran optiknya, yaitu S(+)enantiomer (dextro) dan R(-) enantiomer (levo). Kedua isomer ini terdapat dalam jumlah campuran 1:1 dalam molekul induk ketoprofen.(Tuncer, 2010) Dalam penelitian farmakokinetik terhadap molekul ketoprofen, terbukti bahwa efektivitas yang timbul dari ketoprofen dihasilkan dari enansiomer S(+)enansiomer (dextro) sedangkan enansiomer satunya R(-)-enansiomer (Levo) tidak memiliki efek klinis. Dari penelitian ini maka disintesis suatu molekul baru
28
deksketoprofen yang merupakan isomer S(+)-enansiomer (dextro) dengan membuang komponen R(-)-enantiomer (levo) .8-10 Deksketoprofen trometamol 50 mg setara dengan tramadol 100 mg dan petidin 100 mg. (Tuncer, 2010) Jadi potensi analgesi deksketoprofen trometamol sama dengan dua kali petidin dan tramadol. Farmakokinetik deksketoprofen Formula Kimia C16 H14O3 Berat Molekul 254,3 g/mol Bioavailabilitas 99 % Metabolisme Hepatik Eliminasi half-life 1-2,7 jam, dewasa muda. (Tuncer, 2010) Ekskresi Ginjal Rute pemberian Oral Intramuskuler Intravena Studi farmakokinetik yang dilakukan dengan menggunakan deksketoprofen trometamol pada hewan, menunjukkan kisaran absorbsi yang tinggi untuk obat ini setelah pemberian peroral atau IM.Ekskresi terutama melalui urin, sebagai glukorokonjugasi obat yang tidak terurai. Ditekankan juga bahwa tidak ada inversi dari enansiomer S(+) ke R (-). Setelah pemberian IM pada manusia C max dapat dicapai dalam waktu 20 menit ( berkisar antara 10-45 menit). Pada dosis tunggal 25 sampai 50 mg menunjukkan AUC yang proporsional setelah pemberian secara IM atau IV.Pada studi farmakokinetik dosis ganda diketahui bahwa tidak ada perbedaan Cmax dan AUC antara dosis tunggal dan dosis ganda setelah pemberian terakhir.Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada akumulasi obat. Memiliki ikatan protein plasma yang tinggi (90%) dengan obat lain, dengan nilai volume distribusi rata-rata dibawah 0,25 l/kg. Waktu paruh distribusi mendekati 0,35 dan waktu paruh eliminasi berkisar antara 1-2,7 jam . jalur eliminasi utama untuk deksketoprofen adalah konjugasi glukoronida diikuti dengan ekskresi melalui ginjal. (Dame, 2007) Pengaruh pemberian deksketoprofen terhadap beberapa sistem dalam tubuh manusia adalah sebagai berikut :(Dame, 2007) 1. Sistem kardiovaskuler, deksetoprofen tidak menyebabkan perubahan yang bermakna pada parameter jantung dan hemodinamik tidak banyak dipengaruhi. Hati-hati pada pasien gangguan jantung, dapat menyebabkan retensi cairan. 2.
Sistem pernafasan tidak terdapat depresi pernafasan.
29
3. Sistem pencernaan, jarang menyebabkan iritasi lambung, perdarahan gastrointestinal. 4. Sistem saraf pusat, meningitis aseptik yang terutama muncul pada pasien SLE atau jaringan ikat tipe campuran 5. Dibidang hematologi, deksketoprofen dapat menghambat agregasi trombosit.
Deksketoprofen
merupakan
OAINS
penghambat
siklooksigenase non spesifik yang menghambat COX-1 dan COX-2 secara seimbang. Penggunaan bersama deksketoprofen dengan dosis pencegahan heparin berat molekul rendah pada periode pasca operasi telah diuji secara klinis dan tidak ada efek pada parameter koagulasi yang telah ditetapkan. 6. Pada hepar, terjadi peningkatan fungsi hepar dalam batas normal yang sifatnya sementara selama terapi.
II.8.2 Non-Farmakologis Ada beberapa metode metode non-farmakologi yang digunakan untuk membantu penanganan nyeri paska pembedahan, seperti menggunakan terapi fisik (dingin, panas) yang dapat mengurangi spasme otot, akupunktur untuk nyeri kronik (gangguan muskuloskletal, nyeri kepala), terapi psikologis (musik, hipnosis, terapi kognitif, terapi tingkah laku) dan rangsangan elektrik pada sistem saraf (TENS, Spinal Cord Stimulation, Intracerebral Stimulation). (Donny, 2009)
II.9 Subarachmoid Block II.9.1 Definisi Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah tindakan anestesi dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang subaraknoid di daerah vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai dari vertebra thorakal 4. (Mangku, 2010)
30
II.9.2 Indikasi anestesi spinal(Gunawan, 2007) 1. Bedah ekstremitas bawah 2. Bedah panggul 3. Tindakan sekitar rektukm dan perineum 4. Bedah obstetri dan ginekologi 5. Bedah urologi 6. Bedah abdomen bawah 7. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi dengan anestesi umum ringan.
II.9.3 Kontraindikasi anestesi spinal(Gunawan, 2007)
Kontraindikasi absolute
Kontraindikasi relatif
Pasien menolak
Infeksi sistemik (sepsis, bakterimia)
Infeksi pada tempat suntikan
Infeksi sekitar tempat suntikan
Hipovolemia berat atau syok
Hipovolemia ringan
Koagulopati atau mendapat terapi Kelainan neurologis dan kelainan antikoagulan
psikis
Tekanan intrakranial meninggi
Bedah lama
Fasilitas resusitasi minim
Penyakit jantung
Kurang pengalaman
Nyeri punggung kronis
31
II.9.8 Beberapa anestetik lokal yang sering digunakan 1. Lidokain Konsentrasi efektif minimal 0,25%, penggunaan infiltrasi mula kerja 10 menit dan relaksasi otot cukup baik. Lama kerja sekkitar 1-1,5 jam tergantung konsentrasi larutan. Larutan standar 1 atau 1,5% untuk blok perifer. 0,25%0,5% ditambah adrenalin 200.000 untuk infiltrasi, 0,5% untuk blok sensorik tanpa blok motorik, 1,0% untuk blok motorik dan sensorik, 2,0% untuk blok motorik pasien berotot, 4,0% atau 10% untuk topikal semprot faring-laring (pump spray), 5,0% unutk jeli yang dioleskan pada pipa trakea, 5,0% lidokain dicampur 5,0% prilokain untuk topikal kulit, 5,0% hiperbarik untuk analgesia intratekal (subarakhnoid). (Mangku, 2010) 2. Bupivakain Konsentrasi efektif minimal 0,125%, mula kerja lebih lambat dibanding lidokain tetapi lama kerja sampai 8 jam. Setelah suntikan kaudal epidural, atau infiltrasi, kadar plasma puncak dicapai dalam 45 menit, kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3-8 jam. Untuk anestesia spinal 0,5% volum antara 2-4 ml iso atau hiperbarik. Untuk blok sensorik epidural 0,375% dan pembedahan 0,75%. (Mangku, 2010)
32
BAB III KERANGKA KONSEP Pasien Operasi
Anastesi dengan SAB
1.Inj. Ketorolac 30 mg / IV/ 8 jam 2. Inj.Paracetamol 1000 mg / IV / 8 jam 3.Inj. Dexketoprofen 50 mg / IV / 8 jam
Pasien pasca Bedah
Penilaian skala nyeri dengan Visual Analog Scale
Nyeri
Pemberian obat analgetik
Nyeri yang tidak diatasi
Inflamasi
Keterangan : 1.
Yang diteliti
2.
Yang tidak diteliti
3.
Yang mempengaruhi
4.
Perlakuan Eksperimental
Terganggunya proses penyembuhan luka
33
3.1 Penjelasan Kerangka Konsep Pada
tindakan
pembedahan
biasanya
dilakukan
tindakan
anastesi.Tindakan anestesi diberikan untuk memblokir sementara sensasi rasa sehingga memungkinkan pasien menjalani operasi dan prosedur kesehatan lainnya tanpa rasa sakit. Pada pembedahan fraktur ekstremitas inferior biasanya digunakan anastesi dengan menggunakan metode Subarachnoid Block yaitu teknik anestesi regional dengan cara penyuntikan obat anestesi local ke dalam ruang subarahnoid dengan tujuan untuk mendapatkan analgesi setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka. Metode ini dianggap paling baik karena sehubungan dengan gangguan metabolisme dan ekskresi dari obat-obatan. Teknik ini baik sekali bagi penderitapenderita yang mempunyai kelainan paru-paru, diabetes mellitus, penyakit hati yang difus dan kegagalan fungsi ginjal, Ketika efek dari pemberian anastesi mulai hilang biasanya pasien akan merasakan nyeri akibat penyayatan pada kulit yang merangsang saraf untuk menghantarkan sinyal rasa nyeri ke otak. Seiring tubuh yang mulai sembuh, rasa nyeri seharusnya berkurang dan akhirnya hilang sama sekali. Untuk menilai skala nyeri pada pasien pasca bedah dapat dinilai dengan menggunakan metode Visual Analogue Scale (VAS)
yang merupakan alat
pengukuran intensitas nyeri yang dianggap paling efisien yang telah banyak digunakan dalam berbagi penelitian. Tetapi jika nyeri tidak diatasi dengan tepat maka dapat menyebabkan inflamasi yang menetap dan
mengganggu proses
penyembuhan luka. Oleh karena itu digunakan obat NSAID (Non Steroidal Anti-inflammatory Drugs) suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas), dan antiinflamasi (anti radang) untuk mencegah terganggunya proses penyembuhan luka, dimana mekanisme kerja NSAID
34
didasarkan atas penghambatan isoenzim COX-1 (cyclooxygenase-1) dan COX-2 (cyclooxygenase-2).
Enzim
cyclooxygenase ini
berperan
dalam
memacu
pembentukan prostaglandin dan tromboksan dari arachidonic acid. Prostaglandin merupakan molekul pembawa pesan pada proses inflamasi (radang).
35
BAB IV METODE PENELITIAN
IV.1
Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental.
IV.2
Populasi dan Sampel Penelitian Populasi Dalam penelitian kali ini populasi yang dipakai adalah pasien pasca bedah ekstremitas inferior yang dirawat di ruang Bougenville, Puspa Indah, Wijaya Kusuma, Sedudo RSUD Nganjuk Sampel Penelitian Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi.Sampel penelitian yang diambil harus sesuai dengan kriteria inklusi.
IV.3
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada tanggal 18 mei 2015 – 14 juni 2015 dengan tempat observasi di ruang Bougenville, Puspa Indah, Wijaya Kusuma, Sedudo RSUD Nganjuk.
IV.4
Kriteria Inklusi dan Ekslusi Kriteria Inklusi 1. Usia dewasa 16 - 80 tahun 2. Pasien dengan fraktur ekstremita bawah tanpa multiple fracture
36
3. Lokasi pembedahan pada regio femur / cruris (tibia-fibula) 4. Pasien dengan status rencana pembedahan elektif Kriteria Eksklusi 1. Pasien yang batal mengikuti operasi 2. Pasien yang tidak kooperatif saat dilakukan penelitian 3. Obat yang masuk tidak sesuai dengan yang prosedur
diinstruksikan
peneliti
IV.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Klasifikasi Operasional Variabel a. Variabel independen
:
Injeksi Ketorolac
Injeksi Dexketoprofen
Injeksi Paracetamol
b. Variabel dependen
:
Skala Nyeri (VAS)
IV.6 Definisi Operasional IV.6.1 Obat – obatan yang digunakan a. Injeksi Ketorolac 30 mg / 1 ml Obat injeksi yang dikemas dalam bentuk ampul, tiap ampul (1 ml) mengandung ketorolac tromethamine 30 mg. Injeksi bolus intravena diberikan dalam waktu minimal 15 detik tanpa pengenceran dalam spuit 3 cc. Diberikan setiap 8 jam dalam penelitian ini. Dalam pemberian injeksi ini dibantu oleh perawat ruangan yang sedang bertugas.
37
b. Injeksi Deksketoprofen 50 mg/ 2ml Obat Injeksi yang dikemas dalam bentuk ampul, tiap ampul (2ml) dalam 1 ml mengandung dexketoprofen trometamol 25mg. Pemberian dengan cara bolus intravena tanpa pengenceran dalam spuit 3 cc. Diberikan setiap 8 jam dalam penelitian ini. Dalam pemberian injeksi ini dibantu oleh perawat ruangan yang sedang bertugas. c. Infus Paracetamol 1000mg/ 100ml Bentuk kemasan adalah larutan infus di dalam vial 100 mL.Cara pemberian langsung disambungkan dengan infus set. Infus diberikan secara intravena dengan dihubungkan menggunakan venflon / abokat. Diberikan setiap 8 jam dalam penelitian ini. Dalam pemberian injeksi ini dibantu oleh perawat ruangan yang sedang bertugas. IV.6.2 VAS (Visual Analog Scale)
38
Penilaian VAS I (pertama) dilakukan pada jam ke 8 pasca pembedahan dimana pengaruh anastesi spinal sudah mulai menghilang, dan penilaian VAS II (kedua) dilakukan pada jam ke 24 dimana nyeri pasca pembedahan perlahan mulai menghilang.Pada penelitian ini kami menggunakan skala VAS yang telah di modifikasi agar memudahkan pemeriksaan bilamana terjadi kesulitan dalam pemahaman bahasa atau penjelasan.
IV.6.3 Pembagian kelompok Perlakuan Pembagian kelompok perlakuan dibagi berdasarkan periode waktu Minggu I
: Injeksi Ketorolac 30 mg / 1 ml
Minggu II
: Injeksi Deksketoprofen 50 mg / 2 ml
Minggu III
: Infus Paracetamol 1000mg / 100 ml
Minggu IV
: menyesuaikan dengan sampel yang belum terpenuhi
IV.6.4 Prosedur pemberian obat Obat yang sudah ditentukan akan diberikan kepada pasien sesuai dengan ketentuan yang dibuat dalam penelitian ini, obat sudah diberikan sejak awal pasien datang di Unit Gawat Darurat RSUD Nganjuk, hingga di ruang rawat inap serta sebagai terapi pasca pembedahan. Pemberian obat dibantu oleh tenaga paramedis yang sedang bertugas di UGD, di ruangan, , serta di OK. Ruang rawat inap yang ada di RSUD Nganjuk dijaga oleh perawat selama 24 jam dengan pembagian jadwal jaga per 8 jam.
39
IV.7 Prosedur Penelitian Menentukan Populasi
Inj. Dexketoprofen 50 mg / IV / 8 jam
Inj. Ketorolac 30 mg / IV/ 8 j am 2. Inj.Paracetamol 1000 mg / IV / 8 jam 3.Inj. Dexketoprofen 50 mg / IV / 8 jam
Kriteria inklusi Menentukan Sampel
Pasien pasca bedah
Perlakuan Pengambilan data awal Penilaian VAS I Inj.Paracetamol 1000 mg / IV / 8 jam 3.Inj. Dexketoprofen 50 mg / IV / 8 jam
Kriteria eksklusi
8 jam pasca pembedahan
Pengambilan data akhir Penilaian VAS II 24 jam pasca pembedahan
Tabulasi data
Analisa data
Hasil HasilPenelitian Penelitian
40
BAB V HASIL PENELITIAN
V.1
Hasil Data Penelitian
V.1.1 Populasi dan Sampel Berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang ditentukan oleh peneliti, didapatkan populasi sebanyak 31 orang, dengan sampel sebanyak 15 orang selama 4 minggu pertanggal 18 mei 2015 – 14 juni 2015 dengan tempat observasi di ruang Bougenville, Puspa Indah, Wijaya Kusuma,dan Sedudo. Tabel V.1.1 - 1 Jumlah sampel terhadap populasi
Populasi
Sampel
31
15
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 15 orang (48%) dari jumlah populasi yang berjumlah 31orang, dengan sampel awal 16 dan di ekslusi karena tidak sesuai kriteria. Dari penelitian diperoleh data primer berupa hasil observasi kondisi pasien pasca bedah dengan perlakuan pemberian obat selama 24 jam dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
41
a. Injeksi Deksketoprofen 50 mg / 2 ml – IV / 8 jam Tabel V.1.1 - 2 Hasil Visual Analog Scale setelah mendapat perlakuan Injeksi Deksketoprofen 25 mg / 2 ml – IV / 8 jam
VAS I
VAS II
Tingkat
8 jam
24 jam
Skala Nyeri
Ny. Sr (50 th)
8
6
2
Ny. End (45 th)
9
5
4
Sdr. Gn (16 th)
7
5
2
Sdr.Rj (16 th)
8
5
3
Tn.Pg (42 th)
8
4
4
Nama
b. Injeksi Ketorolac 30 mg / 1 ml – IV / 8 jam
Tabel V.1.1 - 3 Hasil Visual Analog Scale setelah mendapat perlakuan Injeksi Ketorolac 30 mg / 1 ml – IV / 8 jam
VAS I
VAS II
Tingkat
8 jam
24 jam
Skala Nyeri
Tn.St (47 th)
6
2
4
Ny. Lk (48 th)
7
3
4
Tn.Ys (34 th)
5
2
3
Tn.Dk (30 th)
6
2
4
Tn.Ms (46 th)
8
4
4
Nama
42
c. Infus Paracetamol 1000mg/ 100ml – IV / 8 jam
Tabel V.1.1 - 3 Hasil Visual Analog Scale setelah mendapat perlakuan Infus Paracetamol 1000mg/ 100ml – IV / 8 jam
VAS I
VAS II
Tingkat
8 jam
24 jam
Skala Nyeri
Ny.Sm (67 th)
10
8
2
Ny. Mr (68 th)
10
8
2
Tn.Sf (45 th)
10
7
3
Tn.Wn (52 th)
10
7
3
Tn.Ps (40 th)
9
7
2
Nama
Dari ketiga tabel diatas telah dilakukan penghitungan jumlah presentase penurunan angka Visual Analog Scale dengan pemberian obat analgetik untuk manajemen nyeri pasca pembedahan orthopedi. Hasil penghitungan jumlah sampel yang dilakukan oleh peneliti didapatkan presentase penurunan skala nyeri pada pemberian Injeksi Ketorolac sebanyak 59,4%, pemberian injeksi Deksketoprofen sebanyak 37,5 %, dan pemberian infus Paracetamol sebanyak 24,5 %, berikut dapat dilihat pada diagram dibawah ini :
43
Peneliti telah menghitung perbandingan tingkat keefektivan obat untuk manajemen nyeri pasca bedag orthopedi dan hasilnya pemberian injeksi Ketorolac dapat menurunkan rata – rata sebanyak 5 tingkat dari nilai VAS I , dimana pada pemberian injeksi Deksketoprofen hanya dapat menurunkan sebanyak 3 tingkat dari nilai VAS I, sedangkan infus Paracetamol hanya menurunkan sebanyak 2 tingkat dari nilai VAS I. Berikut dapat dilihat pada gambar grafik di bawah ini :
10 9
8 7 6 5 4
3 2 1 0
Injeksi ketorolac
Injeksi Deksketoprofen
VAS I
Infus Paracetamol
VAS II
Diagram V.1.1 -1 Penurunan nilai Visual Analog Scale dengan pemberian obat analgetik.
44
Presentase penurunan VAS pasca pembedahan dalam 24 jam 24.5% 20
37.5%
18
VAS I
16 14
59.4%
VAS I
12 10
∆ VAS
VAS I 8
∆ VAS 6 4 2 0
∆ VAS
VAS II
VAS II Injeksi Ketorolac
VAS I
6.4
Injeksi Deksketoprofe n 8
Infus Paracetamol
∆ VAS2
3.8
3
2.4
VAS II
1.8
5
7.4
9.8
Diagram V.1.1 - 2 Hasil Presentase Penurunan Visual Analog Scale dengan pemberian obat analgetik.
45
BAB VI PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang dilakukan sejak tanggal 18 mei 2015 – 14 juni 2015 didapatkan penurunan skala nyeri terbanyak dengan penilaian VAS adalah dengan pemberian Injeksi Ketorolac sebanyak 59,4%, pemberian injeksi Deksketoprofen sebanyak 37,5 %, dan pemberian infus Paracetamol sebanyak 24,5 %. Dari hasil yang didapatkan ternyata Ketorolac adalah salah satu obat analgetik golongan NSAID yang memiliki efek paling baik dibandingkan Deksketoprofen dan Paracetamol di RSUD Nganjuk dalam meringankan nyeri pada pasien pasca bedah ortophedi dalam waktu 24 jam. Hasil penelitian ini ternyata tidak sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Fanny Pritaningrum (2010) di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang pada bulan Maret-Juni 2010 yang melakukan penelitian mengenai perbedaan VAS antara Ketorolac dan Deksketoprofen, dimana hasil yang didapat pada penelitiannya, skor VAS antara kelompok ketorolak dan kelompok deksketoprofen memperlihatkan perbedaan yang bermakna, dengan skor VAS pada kelompok ketorolak selalu lebih besar bila dibandingkan dengan kelompok deksketoprofen dengan penilaian VAS yang dilakukan selama 48 jam. Hasil penelitian Fanny memiliki hasil yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Rodriguez MJ et al (2003), yang juga mendapatkan hasil skor VAS untuk kelompok deksketoprofen lebih kecil dibandingan dengan kelompok ketorolac, di mana skor VAS ini diukur pada hari ketujuh pasca bedah. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Devina Adiyani Pranowo (2014) yang melaporkanDexketoprofen secara poten menghambat COX -1 dan COX-2 yang membuat obat ini menjadi lebih baik dalam menurunkan waktu perdarahan.Kelarutan dan absorbsi dalam saluran cerna yang lebih cepat membuat efek samping pada
46
saluran cerna menjadi lebih minimal sehingga kadar maksimal dari obat ini juga akan lebih cepat bekerja dibanding Ketorolac. Mekanisme penghambatan COX-1 dan COX-2 pada Dexketoprofen akan menurunkan efek samping berupa pemanjangan waktu perdarahan, dimana pada Ketorolac efek samping tersebut masih ada dikarenakan Ketorolac hanya menghambat COX-1 dan COX-2 yang tidak dihambat menyebabkan terhambatnya agregasi trombosit, vasodilatasi pembuluh darah, dan anti proliferatif pembuluh darah sehingga waktu perdarahakan akan jauh lebih lama dibandingkan pemggunaan Dexketoprofen. Hal ini sesuai dengan penelitian yang juga dilakukan olehRatri Sulistyowati (2009)dan Kristika Catur Setyono (2009) dengan penelitian yang serupa, sehingga rasa nyeri pada pasien pasca pembedahan dengan menggunakan Ketorolac menjadi lebih lama dibandingkan Deksketoprofen akibat waktu perdarahan yang memanjang. Sementara itu pada penelitian yang dilakukan oleh Elvin Kesimci (2010) mengenai “Perbandingan Penggunaan Deksketoprofen dengan Parasetamol pasca pembedahan dengan analgetik penyelamat Morfin”, didapatkan hasil bahwa dengan penggunaan Deksketoprofen memiliki hasil yang signifikan menurunkan penggunaan obat golongan opioid sebagai pengelolaan nyeri yang tidak teratasi, hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Zippel et al (2006) yang melakukan penelitian serupa, yang mendapatkan manfaat analgesik dan penurunan morfin dengan penggunaan Dexketoprofen 50 mg intravena, pada saat1 jam sebelum operasi dan 2 jam setelah operasi pada pasien histerektomi abdominal. Sedangkan pada penggunaan Parasetamol dengan mekanisme kerja dua aksi inhibitor di pusat cyclooxygenases dan interaksi dengan sistem serotonergik, ternyata tidak terbukti dapat menurunkan penggunaan obat golongan opioid, hasil penelitian serupa juga diungkapkan oleh Remy et al (2005)melaporkan bahwa parasetamol yangdiberikan 1 g setiap 6 jam memiliki opioid-sparing efek kurang dari 10% dalam 24 jam. Dalam literatur saat ini, kami menemukan bahwa 1 g parasetamol telah diberikan terlebih dahulu pada operasi lumbal. Dalam salah satu studi ini, parasetamol 1 g IV diberikan sebagai analgesik tambahan untuk PCA morfin pada
47
periode pasca operasi dan memberikan hasil yang efektif analgesia setara dengan metamizol 1g. Baru-baru ini, baik Grundman et al (2006) dan Toygar et al (2008) gagal untuk menunjukkan efek analgesik menguntungkan preemptivedari pemberian parasetamol 1 g IV. Dalam studi lain yang dilakukan oleh Cakan et al (2008) yang mengevaluasi khasiat analgesik dan efek opioid-sparing parasetamol dilaporkan bahwa parasetamol 1 gr IV diberikan pada akhir operasi dan pada 6 jaminterval lebih dari 24 jam, tidak menurunkan penggunaan obat golongan Opioid, tetapi tetap terjadi peningkatan kualitas nyeri pada periode pasca operasi dini. Evaluasi dari hasil keseluruhan yang diperoleh dalam penelitian kami, kami tidak bisa menemukan efek yang menguntungkan dengan penggunaan Parasetamol sebelum operasi.Namun, Seymour dkk (1996) mendapati hasil Parasetamol adalah obat NSAID yang paling ramah dan aman terhadap tubuh, dan memiliki onset antipiretik yang cepat dan bisa digunakan sebagai penanganan nyeri yang disertai dengan demam.Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Ratri Sulistyowati (2009), juga memperoleh hasil Ketorolac memiliki resiko tinggi dalam meningkatkan sekresi asam lambung. Dari hasil penelitian yang kami lakukan kelompok Ketorolac memiliki nilai VAS terkecil dibandingkan dengan kelompok Deksketoprofen dan kelompok Paracetamol dalam penilaian VAS 24 jam, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Fanny Pritaningrum (2010) didapatkan hasil yang signifikan dalam 48 jam kelompok Deksketoprofen menjadi salah satu obat yang efektif digunakan dalam mengelola nyeri. Di lain pihak, penggunaan Parasetamol memiliki hasil yang sama dengan penelitian – penelitian sebelumnya yang tidak mendapatkan hasil yang diharapkan dalam pengelolaan nyeri pada pasien pasca pembedahan. Nilai skala VAS pada pemberian obat analgetik pasca pembedahan, didapatkan hasil bahwa pemberian Injeksi Ketorolac dapat menurunkan hingga rata – rata sebanyak 5 tingkat dari nilai VAS I dengan pemberian secara intravena dosis 30mg / 1 ml / 8 jam, sedangkan pada pemberian injeksi Deksketoprofen dapat menurunkan sebanyak 3 tingkat dari VAS I dengan pemberian secara intravena dosis 50 mg / 2ml / 8 jam, sedangkan infus Paracetamol hanya menurunkan sebanyak 2
48
tingkat dari VAS I dengan pemberian secara intravena dosis 1000mg / 100 ml /.8 jam. Penurunan nilai skala nyeri dalam 24 jam dengan penilaian VAS rata rata pada pemberian Ketorolac berada pada skala 2,6, pada kelompok Deksketoprofen pada skala 5, dan pada Paracetamol pada skala 7,2 , dimana skala 0 – 4 termasuk dalam kategori nyeri ringan dan > 4 termasuk dalam kategori nyeri sedang – berat yang memerlukan analgetik penyelamat untuk mengatasinya. Menurut pendapat kami perbedaan hasil yang kami peroleh dibandingkan penelitian sebelumnya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor : a. Prosedur pemberian obat yang tidak sesuai dengan yang telah dijelaskan oleh peneliti. b. Tingkat intensitas nyeri yang berbeda - beda antara satu dengan yang lain, karena nyeri bersifat subyektif. c. Kurangnya pemahaman pasien dengan penjelasan yang telah dipaparkan oleh peneliti. d. Dapat dipengaruhi oleh Bioavailabilitas obat, jumlah obat dalam persen terhadap dosis yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau aktif. Salah satu faktor yang mempengaruhi yaitu faktor obat itu sendiri, misalnya sifat-sifat fisikokimia obat.
49
BAB VII KESIMPULAN & SARAN VII.1 KESIMPULAN Pada VAS 1 pemberian injeksi Ketorolac 30 mg /1ml secara intravena lebih unggul daripada injeksi Deksketoprofen dan infus Paracetamol . Hal ini dibuktikan dengan adanya jumlah rata-rata terendah VAS 1 injeksi Ketoroloac sebanyak 6,4 dibandingkan dengan injeksi Deksketoprofen yang berjumlah 8 dan infus Paracetamol sebanyak 9,8. Pada VAS II pemberian injeksi Ketorolac 30 mg /1ml secara intravena juga lebih unggul lagi daripada injeksi Deksketoprofen dan infus Paracetamol karena jumlah penurunan rata-rata yang terendah yaitu sebanyak 2,6 dibandingkan dengan injeksi Deksketoprofen yang berjumlah 5 dan infus Paracetamol sebanyak 7,4. Sedangkan pada penilaian ΔVAS pemberian injeksi Ketorolac 30 mg /1ml secara intravena, jumlah penurunan VAS lebih tinggi dibandingkan pada pemberian injeksi Deksketoprofen dan infus Paracetamol karena hasil ΔVAS injeksi ketorolac memiliki rata-rata sebanyak 3,8 dibandingkan dengan hasil ΔVAS injeksi Deksketoprofen yang berjumlah 3 dan pada infus Paracetamol berjumlah 2,4. Pada penelitian yang kami lakukan ternyata injeksi Ketorolac menjadi salah satu analgetik yang paling unggul karena mampu menurunkan nyeri pasca pembedahan tulang sebanyak 5 tingkat dimana pasien merasakan nyeri dalam kategori ringan, sedangkan injeksi Deksketoprofen yang hanya menurunkan 3 tingkat dan Infus Parasetamol yang hanya menurunkan 2 tingkat dari nilai awal, dimana pasien masih merasakan nyeri dalam kategori sedang.
50
VII.2 SARAN 1. Ketorolacdapat dijadikan obat untuk mengelola nyeri pasca pembedahan tungkai di RSUD Nganjuk dengan mempertimbangkan efek samping obat. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan penghitungan data statistik yang lebih baik agar mencapai hasil yang lebih relevan, dan perlu memperhatikan efek samping dan kontraindikasi pemakaian obat.
DAFTAR PUSTAKA Arici S, Gurbet A, Türker G, Yavaşcaoğlu B, Sahin S. Preemptive analgesic effects ofintravenous
paracetamol
in
total
abdominal
hysterectomy. Agri. 2009;21:54–61 Adiyani P. Devina, 2014. Pengaruh Deksketoprofen dengan Ketorolac terhadap Kadar Kortisol Plasma pada Tikus Wistar yang mengalami insisi.Semarang :Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Bielefeld K, Gebhart GF. Visceral Pain: Basic Mecanisms. Dalam: Shorten G, Carr DB,Harmon D, Puig MM, Browne J, eds. Postoperative Pain Management:An Evidence-Based Guide to Practice. Philadelpia: Saunders Elsevier, 2006. Bushnell MC, Apkarian AV. Representation of Pain in the Brain. Dalam: McMahon SB, Koltzenberg M, eds. Wall and Melzack’s Textbook of Pain, 5th ed. London: Elsevier Chuchill Livingstone. 2006 Cakan T, Inan N, Culhaoglu S, Bakkal K, Başar H. Intravenous paracetamol improves the quality of postoperative analgesia but does not decrease narcotic requirements. J Neurosurg Anesthesiol. 2008;20:169–73. Dharmono, 2007.Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I & II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Dame L, Bisri T, Wargahadibrata H. Perbandingan Deksketoprofen Trometamol 1,5mg/kgBB dan Petidin 1 mg/kkBB Intravena sebagai Analgetik Intraoperasi
51
dan Kejadian Efek Samping Pascaoperasi pada Pasien Bedah Rawat Jalan RSUP Hasan Sadikin Bandung.Anestesia & Critical care Vol 25,Sept 2007;217. Donny, Arif. 2009. Kapita selekta kedokteran Jilid 1 Edisi ke tiga. Jakarta : Media Aesculapins Frizelle H. Mechanisms of Postoperative Pain-Nociceptive. Dalam: Shorten G, Carr DB,
Harmon
D,
Puig
MM,
Browne
J,
eds.
Postoperative
Pain
Management:An Evidence-Based Guide to Practice. Philadelpia: Saunders Elsevier, 2006. Fields HL, Basbaum AI, Heinricher MM. Central Nervous System mechanisms of Pain Modulation. Dalam: McMahon SB, Koltzenberg M, eds. Wall and Melzack’s Textbook of Pain, 5th ed. London: Elsevier Chuchill Livingstone. 2006. Gunawan, gan sulistia.Farmakologi dan terapi edisi 5.Departemen Farmakologi danTerapeutik FKUI.2007. Katzung, B. G., 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik (Buku 3 Edisi 8 Penerbit Salemba Medika, Jakarta Kesimci E, Gümüş T, Izdeş S, Sen P, Kanbak O. Comparison of efficacy of dexketoprofen versus paracetamol on postoperative pain and morphine consumption in laminectomy patients. Agri. 2011;23:153–9. Karvonen S, Salomäki T, Olkkola KT. Efficacy of oral paracetamol and ketoprofen for pain management after major orthopedic surgery. Methods Find Exp Clin Pharmacol 2008;30(9):703-6. Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An., 2010.Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks. Michael R, Anderson, Christina LJ, James CW, Meg AR. Anesthesia for patients undergoing orthopedic oncologic surgeries. J Clin Anesth [Internet]. 2010 [cited 2013 November 24]; 22:565-72. Available from: EBSCO.
52
McQuay HJ, Moore A. NSAIDS and Coxibs: Clinical Use. Dalam: McMahon SB, Koltzenberg M, eds. Wall and Melzack’s Textbook of Pain, 5th ed. London: Elsevier Chuchill Livingstone. 2006. Meyer RA, Ringkamp M, Campbell JN, Raja SN.Peripherial Mecanisms of Cutaneous Nosiseption. Dalam: McMahon SB, Koltzenberg M, eds. Wall and Melzack’s Textbook of Pain, 5th ed. London: Elsevier Chuchill Livingstone, 2006. Meliala L, Pinzon R. Breakthrough in Management Acute Pain. Bagian Ilmu Penyakit Saraf RS Bethesda Yogyakarta.2008 : 1-20. Pritaningrum F (2010). Perbedaan Skor Visual Analogue Scale antara Ketorolac dan Deksketoprofen pada Pasien Pasca Bedah, Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Rodríguez MJ, Arbós RM, Amaro SR. Dexketoprofen trometamol: Clinical evidence ing its role as a painkiller. Expert Rev Neurother. 2008;8:1625–40. Santoso SO, Dewoto HR. Analgesik Opioid dan Antagonis. In : Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyatuti, Nafrialdi, eds. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2004. p.210-229 Sulistyowati R, 2009. Perbedaan Pengaruh Pemberian Ketorolac dan Deksketoprofen sebagai Analgesia Pasca Bedah terhadap Agregasi Trombosit.Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Setyono C.K, 2009. Pengaruh Ketorolac Intravena dan Deksketoprofen Intravena sebagai Analgesia Pasca Bedah Terhadap Waktu Perdarahan.Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Silva LA da, Rezende JG, Souza MIT, Robazzi ML, Dalri R de, Faleiros SA. et al. Pain in patients undergoing orthopedic surgery. J Nurs. 2013 [cited 2014 January 24]; 7(10):5883-9. Tabolt RM, McCrory CR. Mechanisms of Postoperative Pain-Neuropathic. Dalam: Shorten G, Carr DB, Harmon D, Puig MM, Browne J, eds. Postoperative Pain Management:An Evidence-Based Guide to Practice. Philadelpia: Saunders Elsevier, 2006.
53
Tuncer S, Reisli R, Keçecioğlu M, Erol A. The effects of intravenous dexketoprofen on postoperative analgesia and morphine consumption in patients undergoing abdominal hysterectomy. Agri 2010;22(3):98-102. Tamsuri Anas. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC Ünal C, et all 2013. Comparison of analgesic efficacy of intravenous Paracetamol and intravenous dexketoprofen trometamol in multimodal analgesia after hysterectomy.J Res Med Sci. 2013 Oct; 18(10): 897–903. Villanueva MR, Smith TL, Erickson JS, et al. Pain assessment for the dementing elderly(PADE): reliability and validity of a new measure. J Am Med Dir Assoc2003:4(1):50-51. White PF. The role of nonopioid analgesic techniques in the management of postoperative pain. In: Hadzic A. editor. Textbook of regional anesthesia and acute pain managemennt. New York: McGraw Hill, 2007: 1109-10. Smeltzer &Bare .(2008). Textbook of Medical Surgical Nursing Vol.2. Philadelphia: Linppincott William & Wilkins. Polomano, R. C, Dunwoody, C. J., Krenzischek, D. A., Rathmell, J. P. (2008).Perspective on Pain Management in the 21st Century. Journal ofPeriAnesthesia Nursing, Vol 23, No 1A (February), 2008; pp S4-S14 Rosdahl, C. Bunker, dan Marry T. Kowalski.(2008). Textbook of basic nursing.( 9thed ). Philadelphia : Lippincott. Catur,
kristika.
PENGARUH
DEKSKETOPROFEN
KETOROLAK
INTRAVENA
INTRAVENA
SEBAGAI
DAN
ANALGESIA
PASCABEDAH TERHADAP WAKTU PERDARAHAN. FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG. 2009 Grundmann, H, Aires-de-Sousa, M, Boyce, J, Tiemersma, E. 2006. Emergence and resurgence of meticillin-resistant Staphylococcus aureus as a public-health threat, Lancet.368 : 874–85.
54