INDIKASI ANESTESI UMUM 1. Berpotensi gagal dalam mendapatkan kerja sama dengan pasien, terutama pasien dengan 2. 3. 4. 5. 6. 7.
kesulitan belajar. Pasien memiliki fobia, terutama klaustrofobia berat. Anak – anak Pembedahan lama Pembedahannya luas atau ekstensif Memiliki riwayat alergi terhadap anestesi lokal Pasien yang memilih anestesi umum
KONTRAINDIKASI ANESTESI UMUM Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis derajat III – IV, AV blok derajat II – total (tidak ada gelombang P). Kontraindikasi relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110), DM tak terkontrol, infeksi akut, sepsis, GNA. Tergantung pada efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan. Pada pasien dengan gangguan hepar, harus dihindarkan pemakaian obat yang bersifat hepatotoksik. Pada pasien dengan gangguan jantung, obat – obatan yang mendepresi miokard atau menurunkan aliran koroner harus dihindari atau dosisnya diturunkan. Pasien dengan gangguan ginjal, obat – obatan yang diekskresikan melalui ginjal harus diperhatikan. Pada paru, hindarkan obat yang memicu sekresi paru, sedangkan pada bagian endokrin hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah, obat yang merangsang susunan saraf simpatis pada penyakit diabetes basedow karena dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah. STADIUM ANESTESI Stadium anestesia mulai diperkenalkan sejak ditemukan eter dan pertama kali didemonstrasikan oleh Morton. Pembagian stadium dimulai oleh Pounly pada tahun 1877 menjadi III stadium, dan kemudian oleh John Snow ditambah satu stadium yang disebut stadium paralisis atau kelebihan obat (stadium IV). Kemudian Geudel memperinci gejala-gejala dan tanda-tanda stadium tersebut secara sistematik (As’at, 2004, dalam Muhiman, dkk., 2004). Gillespie pada tahun 1943 menyempurnakan stadium menurut Guedel berdasarkan perubahan pada sistem pernapanasan akibat pengaruh insisi kulit, sekresi mata, dan refleks laring. Adapun pembagian stadium anestesi menurut Guedel dapat dibagi menjadi (As’at, 2004, dalam Muhiman, dkk., 2004): 1. Stadium I Stadium I (St. Analgesia/ St. Disorientasi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan
terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks tersebut bisa kita raba bulu mata). 2. Stadium II Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya reflekss menelan dan kelopak mata. 3. Stadium III Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga hilangnya pernapasan spontan. Stadium ini ditandai oleh hilangnya pernapasan spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah. Stadium ini dibagi menjadi 4 plane: a. Plane I: Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal. Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+), lakrimasi meningkat, reflex faring dan muntah menghilang, tonus otot menurun. b. Plane II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisa otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidak menurun dan frekuensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi nafas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks cahaya menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin menurun. c. Plane III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise seluruh otot Interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dorninan dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil makin melebar dan reflex cahaya menjadi hilang, lakrimasi negafif, reflex laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun. d. Plane IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise diafragma. Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralise diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks cahaya negatif refleks spincter ani negative. 4. Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan. Tanda-tanda refleks pada mata: 1. Refleks pupil Pada keadaan teranestesi maka refleks pupil akan miosis apabila anestesinya dangkal, midriasis ringan menandakan anestesi reaksinya cukup dan baik/ stadium yang paling baik untuk dilakukan pembedahan, midriasis maksimal menandakan pasien mati. 2. Refleks bulu mata Refleks bulu mata sudah disinggung tadi di bagian stadium anestesi.Apabila saat dicek refleks bulu mata (-) maka pasien tersebut sudah pada stadium 1. 3. Refleks kelopak mata Pengecekan refleks kelopak mata jarang dilakukan tetapi bisa digunakan untuk memastikan efek anestesi sudah bekerja atau belum, caranya adalah kita tarik palpebra atas ada respon tidak, kalau tidak berarti menandakan pasien sudah masuk stadium 1 ataupun 2. 4. Refleks cahaya Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak respon saat kita beri rangsangan cahaya. METODE ANESTESI UMUM DILIHAT DARI CARA PEMBERIAN OBAT 1. Parenteral Anestesia umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun intramuskular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk induksi anestesia. Untuk tindakan yang lama biasanya dikombinasi dengan obat anestetika lain. 2. Perektal Anestesia umum yang diberikan secara perektal kebanyakan dipakai pada anak, terutama untuk induksi anestesia atau tindakan singkat. 3. Perinhalasi Anestesia inhalasi menggunakan gas atau cairan yang anestetika yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetika melalui udara pernapasan. Anestesia inhalasi masuk melalui peredaran darah sampai ke jaringan otak. Faktor-faktor seperti respirasi, sirkulasi, dan sifat-sifat fisik zat anestetika mempengaruhi kekuatan maupun kecepatan anestesia.