BAB II
PEMBORAN
Pemboran adalah kegiatan/pekerjaan bawah tanah beserta fasilitasnya yang digunakan untuk melakukan pekerjaan pengeboran (drilling), perbaikan sumur (Workover) dan pemeliharaan sumur pada usaha pertambangan minyak dan gas bumi maupun panas bumi. 2.1.
Tujuan Pemboran Tujuan dari operasi pemboran adalah membuat lubang secara cepat,
murah, dana man hingga menembus formasi produktif. Lubang hasil pemboran dinamakan lubang
sumur
(well bore), setelah
(casing) dan disemen, maka langkah selanjutya peralatan produksi untuk memproduksikan
dipasang
pipa selubung
adalah memasang fasilitas
minyak
atau gas dari formaasi
produktif. 2.2.
Sistem Peralatan Pemboran Menurut
Fungsinya,
secara garis besar peralatan pemboran dapat
dibagi menjadi lima system peralatan utama, yaitu system tenaga, system angkat, system putar, system sirkulasi,
system pencegah sembur liar dan
system penunjang. 2.2.1. Sistem Angkat Sistem angkat (hoisting system) merupakan salah satu komponen utama dari peralatan pemboran. Fungsi utama system ini adalah memberikan ruang kerja yang cukup untuk pengangkatan dan penurunan rangkaian pipa bor dan peralatan lainnya. Sistem angkat terdiri dari dua bagian utama, yaitu : 1. Suporrting Structure ing Structure adalah kontruksi menara yang ditempatkan diatas titik bor. Fungsi utamanya adalah untuk menjaga peralatan – peralatan 48
pemboran dan
juga
memberi
ruang
yang
cukup
bagi
operasai
pemboran. ing
structure terdiri dari drilling tower (derrick atau mast), substructure dan rig floor. 2. Peralatan Pengangkatan Peralatan pengangkatan terdiri dari : a. Drawwork Drawwork merupakan
otak dari derrick, karena
melalui
drawwork
seorang driller melakukan dan mengatur operasi pemboran. Drawwork juga merupakan rumah atau tempat dari gulungan drilling line. b. Overhead tools Overhead tools merupakan rangkaian sekumpulan peralatan yang terdiri dari crown block , traveling block , hook, dan elevator. c. Drilling Line Drilling line Digunakan untuk menahan (menarik) beban pada hook. Drilling line terbuat dari baja dan merupakan kumpulan kawat baja kecil dan diatur sedemikian rupa hingga merupakan suatu lilitan.
Gambar 2.1. Sistem Pengangkatan
49
2.2.2. Sistem Putar Fungsi
utama
dari sistem
putar
(rotary system) adalah
untuk
memutar rangkaian pipa bor dan juga memberikan beratan diatas pahat untuk membor suatu formasi. Rotary system terdiri dari tiga sub komponen, yaitu : 1. Rotary assembly Peralatan putar berfungsi untuk : a. Memutar rangkaian pipa bor selama proses pemboran berlangsung. b. Menggantungkan rangkaian pipa bor yaitu dengan slip yang dipasang (dimasukan)
pada rotary table ketika disambung
atau melepas
bagian- bagian drill pipe. Peralatan putar ditempatkan pada lantai bor dibawah crownblock diatas lubang, terdiri dari : a. Meja Putar (rotary table). b. Top drive. c. Masterbushing. d. Kelly bushing. e. Swivel. f.
Rotary slip.
2. Rangkaian Pipa pemboran. Rangkaian pipa pemboran menghubungkan antara swivel dan mata bor, berfungsi untuk : a. Menarik turunkan mata bor. b. Memberikan beban diatas pahat untuk penembusan. c. Meneuskan putaran ke mata bor dan, d. Menyalurkan fluida pemboran yang bertekanan kemata bor.
50
Rangkaian pipa bor, meliputi : a. Swivel b. Kelly. c. Drill Pipe. d. HWDP. e. Drill Collar. 3. Mata bor atau bit. Mata bor merupakan peralatan yang langsung menyentuh formasi, berfungs i untuk mnghancurkan dan menembus
formasi,
dengan cara
memberi beban pada mata bor. Jenis- jenis mata bor terdiri dari : a. Drag Bit b. Roller- Cone Bit c. Diamond Bit
yaitu :
Sistem Putar yang digunakan pada pemboran minyak terbagi menjadi dua,
1. Sistem Putaran Konvensional (Menggunakan rotary table) Digerakan oleh power yang sama, yang digunakan pada system angkat. Bisa digunakan bersama- sama atau sendiri-
Kelly Penampang Kelly Master Bushing
Gambar 2.2. Skema Rotary Table Dengan Master Bushing
51
Gambar 2.3. Skema Sistem Putar Dengan Rotary Table
2. Sistem Putar Modern (Top Drive) Merupakan sistem putar tetapi sudah tidak menggunakan rotary table (meja putar) tetapi sudah mempunyaio
mesin penggerak sendiri yang
terpisah dengan sistem angkat. Pada sistem putar terdapat pipa putar yang mentransmis ika n putaran dari meja putar ke bit / pahat.
Gambar 2.4. Skema Sistem Putar Dengan Top Drive
2.2.3. Sistem sirkulasi Sistem sirkulasi terdiri dari empat sub- komponen utama, yaitu : 1. Fluida Pemboran Fluida pemboran adalah merupakan suatu campuran cairan (liquid) dari beberapa komponen yang terdiri dari : air (tawar atau asin), minyak, tanah liat(clay), bahan- bahan kimia (chemical additive), gas, udara, busa maupun detergen. lumpur”.
Dilapangan
fluida
pemboran
dikenal
sebagai
”
Dalam penentuan komposisinya ditentukan oleh kondisi lubang
bor dan jenis formasi yang ditembus
mata bor. Ada dua hal penting
dalam penentuan komposisi lumpur pemboran, yaitu : a. Semakin ringan dan encer suatu lumpur pemboran, semakin besar laju penembusan. b.
Semakin berat dan kental suatu lumpur pemboran, semakin mudah untuk mengontrol kondisi dibawah permukaan, seperti masuknya fluida formasi bertekanan tinggi (dikenal sebagai ”kick”). Bila keadaan ini tidak
dapat diatasi akan menyebabkan
terjadinya
semburan liar
(blowout). 2. Tempat Persiapan Ditempatkan
pada sistem
sirkulasi
dimulai
yaitu
dekat pompa
lumpur. Tempat persiapan meliputi : a. Mud house. b. Steel mud pits / tanks. c. Mixing hopper. d. Chemical mixing barrel. e. Bulk mud storage bins. f.
Water tanks.
g. Reserve pit. 3. Peralatan Sirkulasi Perlataan
sirkulasi
merupakan
komponen
utama
dalam
sistem
sirkulas i, turun kerangkaian pipa bor dan naik ke annulus membaw serbuk bor
kepermukaan menuju conditioning area sebelum kembali ke mud pits untuk sirkulasi kembali. Peralatan sirkulasi terdiri dari beberapa komponen khusus : a. Mud pit. b. Mud pump. c. Pump discharge and return lines. d. Stand pipe. e. Rotary house. 4. Conditioning Area Ditempatkan dekat rig. Area ini terdiri dari peralatan- peralatan khusus yang digunakan untuk ”clean up” Lumpur pemboran setelah keluar dari lubang
bor. Fungsi
utama
peralatan-
peralatan
ono adalah
untuk
ihkan Lumpur bor dari serbuk bor (cutting) dan gas gas yang terbawa. Ada dua metode pokok untuk
memisahkan
cutting
dan gas.
Pertama yaitu menggunakan prinsip gravitasi, dimana lumpur dialirkan melalui
shale shaker dan setling tanks. Kedua yaitu
secara mekanik,
domana peralatan- peralatan khusus yang dipasang pada mud pits dapat memisahkan Lumpur dan gas. Peralatananya terdiri dari : a. Settling tanks : merupakan bak terbuat dari baja digunakan untuk menampung lumpur bor selama conditioning. b. Reserve pits : merupakan kolam besar yang digunakan untuk menampung cutting dari dalam lubang bor dan kadang- kadang untuk menampung kelebihan lumpur bor. c. Mud-gas separator : merupakan suatu peralatan yang memisahkan gas terlarut dalam lumpur bor dalam jumlah besar. d. Shale shaker : merupakan peralatan yang memisahkan cuttings yang besar dari lumpur bor. e. Degasser : merupakan peralatan yang secara kontiyu memisahkan gas terlarut dari lumpur. f. Desander : merupakan peralatan yang memisahkan butir- butir pasir dari lumpur.
g. Desilter : merupakan peralatan yang memisahkan partikel- partikel cutting yang berukuran paling halus dari lumpur.
Gambar 2.5. Sistem Sirkulasi
2.2.4. Sistem Pencegah Semburan Liar Sistem pencegahan
sembur liar ( blow out preventer) dipasang
untuk menahan tekanan dari lubang bor. Peralatan ini disediakan pada operasi pemboran karena peramalan tekanan tidak selalu memungkinkan. formasi mempunya tekanan mengimbanginya
yang besar dan kolom lumpur
Apabila
tidak dapat
maka akan terjadi ”kick”, yaitu intrusi fluida
formasi
yang bertekanan tinggi yang masuk kedalam lubang bor. Kick yang tidak terkendali
dapat mengakibatkan
tejadinya blow out. Jadi blow out selalu
diawali dengan adanya kick. Blow Out Preventer (BOP) system berfungsi untuk menutup
ruang
annular antara drill pipe dan casing bila terjadi gejala kick. Sistem peralatan ini bekerja secara pneumatic (biasanya dipakai dengan menggunakan udara dan
gas)
dan secara mekanik.
BOP sistem terdiridari
BOP stack,
accumulator, dan ing system. BOP stack terdiri dari rangkaian annular preventer, pipe ram preventer, drilling spools, blind ram preventer, dan casing head. Kesemuanya ukurannya
ini disetkan pada surface casing. Sedangkan tipe dan
disesuaikan dengan kondisi tekanan lubang bor dan disesuaikan
dengan ke ekonomiannya.
1. BOP Stack dan Accumulator. Ditempatkan dibawah
pada kepala
casing
atau
kepala
sumur
langsung
rotary table pada lanta bor. BOP stack meliputi : a. Annular preventer Ditempatkan paling atas dari susunan BOP stack. Annular preventer berisi rubber packing element yang dapat menutup lubang annulus baik lubang dalam keadaan kosong ataupun ada rangkaian pipa bor. b. Pipe ram preventer Digunakan
untuk
menutup
lubang
annulus
baik
lubang
pada
waktu rangkaian pipa bor berada pada lubang bor. c. Drilling spool Terletak diantara preventers (pada casing head). Berfungsi sebagai tempat pemasangan choke line (yang mensirkulasikan ”kick” keluar dari lubang bor). d. Blind ram preventer Digunakan untuk menutup lubang bor pada waktu rangkaian pipa bor tidak berada pada lubang bor. e. Casing head Merupakan alat tambahan pada bagian atas casing yang berfungsi sebagai pondasi BOP stack. f.
Accumulator Biasanya
ditempatkan
agak jauh dari rig dengan pertimbangan
keselamatan, fungsi utamanya aalah menutup dengan cepat valve BOP stack pada saat terjadi bahaya. 2. ing system, meliputi : a. Choke manifold Choke manifold merupakan suatu kumpulan fitting dengan beberapa outlet yang dikendalikan secara manual dan atau otomatis. Bekerja pada BOP stack dengan ”high pressure line”, disebut ”choke line”.
b. Kill line Kill line bekerja pada BOP stack biasanya berlawanan, dengan choke manifold
dan choke line.Lumpur
melalui kill line ke dalam lumpur
berlangsung
berat dipompakan
bor sampai tekanan hidrostatik
lumpur mengimba ngi tekanan formasi.
Gambar 2.6. Skema Penampang BOP
2.2.5. Sistem Tenaga Sistem tenaga dalam operasi pemboran terdiri dari power suplay equipment, yang dihasilkan
oleh mesin-
mesin besar yang biasa dikenal
dengan nama ”prime mover” dan distribution equipment yag berfungsi untuk meneruskan tenaga yang diperlukan untuk mendukung jalannya pemboran. Prime mover sebagai daya penggerak
kegiatan
harus mampu mendukung
keperluan fungsi angkat, putar, pemompaan, penerangan, dan lain- lain. 2.2.6. Peralatan Penunjang Peralatan penunjang suatu sumur
pemboran.
membantu pelaksanaan Peralatan
penunjang
penyemenan dan peralatan penunjang lainnya.
ini
maupun penyelesaian terdiri
dari
sistem
2.2.6.1. Sistem Peneyemanan Penyemenan suatu sumur merupakan salah satu faktor yang penting dalam suatu operasi pemboran. Berhasilnya atau tidaknya suatu pemboran, diantaranya tergantung dari berhasil tidaknya penyemenan sumur teersebut. Peralatan penyemenan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu : 1. Peralatan diatas permukaan (surface equipment) Peralatan meliputi :
penyemenan
diatasa
permukaan
a. Cementing Unit Adalah
suatu
unit
pompa
yang
mempunyai
memompakan bubur semen dan lumpur
fungsi
untuk
pendorong dalam proses
penyemenan. Cementing unit terdiri dari : Tangki semen, yaitu menyimpan kering.
semen
Hopper, yaitu untuk mengatur aliran dari semen kering dan air yang ditempatkan bersama- sama dalam hopper, sehingga akan menghasilka n bubur semen yang benar- benar homogen. Jet
Mixer, yaitu
untuk
mengaduk
semen
kering
dan air
yang ditempatkan bersama- sama dalam hopper, sehingga akan menghasilka n bubur semen yang benar- benar homogen. Motor Penggerak pompa dan pompa, yaitu untuk bubur semen. Jenis- jenis cementing unit : 1. Truck cementing 2. unit
mounted
Marine cementing
3. Skit mounted cementing unit
memompa
Gambar 2.7. Truck Mounted Cementing Unit
Gambar 2.8. Marine Cementing Unit
Gambar 2.9. Skit Mounted Cementing Unit
b. Flow line Merupakan pipa yang berfungsi untuk mengalirkan bubur semen yang dipompakan dari cementing unit ke cementing head. c. Cementing head Berfungsi untuk mengatur aliran bubur semen yang masuk ke lubang bor. Ada dua tipe Cementing head, yaitu :
Mac clachie cementing head Merupakan tipe cementing head yang cara penggunaannya (pada waktu pemasukan bottom plug dan top plug dengan jalan membuka dan memasang kembali.
Plug container Tipe ini lebih praktis dari mac clacthie, karena pada plu container ini pemasangan top plug dan bottom plug tidak perlu membukanya, akan tetapi sudah terpasang sebelumnya.
Gambar 2.10. Cementing Head
2. Peralatan di bawah permukaan ( Subsurface) Peralatan penyemenan dibawah permukaan meliputi : a. Casing Merupakan pipa selubung yang berfungsi untuk : Melindungi lubang bor dari pngaruh- pengaruh fluida formasi dan tekanan- tekanan disekitarnya.
Melindungi lubang bor dari keguguran.
Memisahkan formasi produktif satu dengan lainnya.
Bersama- sama memperkuat dinding bor serta memepermudah operasi produksi nantinya. Jenis- jenis casing : Conductor casing, dipasang
pada kedalaman
dekat dengan
permukaan sumur, dengan kata lain pada kedalaman yang dangkal, dimana biasanya pada kedalaman ini formasi rapuh. Dengan kata lain casing jenis ini dipasang untuk melindungi lubang bor dari kemungkinan
runtuh
dan juga berfungsi
untuk
menjaga
kemungkinan terjadinya kontaminasi air tanah oleh zat kimia pada lumpur pemboran.
Surface casing, berfungsi untuk menjaga formasi supaya tidak runtuh. Setelah
conductor casing
dipasang,
maka pemboran
dilanjutkan
dan formasi
lubang
terlalu panjang akan cenderung
bor terbuka, runtuh,
dimana
maka diambil
kalau patokan
bahwa lubang terbuka maksimal harus dua per tiga dari kedalaman lubang bor dan kemuidia n dipasang surface casing ini. Pada surface casing ini juga, pertama kali dipasangkan
peralatan
pencegah
semburan liar (BOP). Hal ini karena mengingat bahwa semakin dalam tekanan formasi akan dikhawatirka n terjadi kick. Intermediete casing, yang
berfungsi
untuk
membahayakan
operasi selanjutnya.
membahayakan
tersebut
antara
menutup Dimana
lain
adalah
formasi formasi yang formasi
yang
bertekanan tinggi, formasi yang dapat menyebabkan lost circulation, formasi yang mudah runtuh
dan lain-lain.
Suatu sumur dapat
mempunyai lebih dari satu intermediate casing, tergantung kondisi dari sumur yang bersangkutan.
Production casing
Liner (Perforated
interval),
mempunyai
dengan production casing tetapi tidak
fungsi dipasang
yang hingga
sama ke
permukaan. Salah satu alasan mengapa dipergunakan liner adalah alasan biaya, karena lebih pendek maka harganya lebih murah.
Gambar 2.11. Susunan Casing
Tabel 2.1. Spesifikasi Casing
Diameter
26”, 20”, 13 3/8”, 9 5/8”,
7” Grade
p. 110, h. 40, j. 55, n.
80. Panjang
30 ft / stand
Berat
23 lb/ft, 26 lb/ft, 29 lb/ft
Thread
4 thread / inch. 60”
Sifat fisik casing terdiri dari : 1. Yield Strength Menurut Hk. Hooke Yield Strength dirumuskan sebagai berikut : .................................................................................... (2-1) E dimana : = applied stress = load + cross sectional area = deformation (strain) = elongation/original length API
mendefinisikan
yield
strength
sebagai
beban
tarikan
yang diperlukan untuk menghasilkan elongasi total sebesar 0.5% dari panjang awalnya sebagaimana diukur oleh sebuah extensometer. 2. Collapse Strength Collapse Strength yang diperlukan
didefinisikan
sebagai tekanan luar maksimal
untuk merobohkan specimen-specimen casing.
Collapse strength ini sendiri dibagi menjadi
Ellastic Collapse
dan Plastic Collapse. Yang membedakan dari kedua hal ini adalah terletak pada waktu dari casing itu terdeformasi. 3. Burst Strength Didefinisikan sebagai nilai maksimal dari tekanan internal yang dapat mengakibatkan casing itu tertarik (mengalami beban tarikan). Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
P 0.875 2Yt ....................................................................... (2-2) D
dimana : t
= ketebalan dinding casing,
in. D Y
= OD casing, in. = Yield Strength Minimum, psi.
Pembebanan Yang Terjadi pada Casing, yaitu : Agar Casing yang terpasang didalam sumur dapat bekerja sesuai fungs inya maka casing harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut : 1. Casing harus mampu menahan efek tekanan yang berasal dari luar casing (Burt pressure). 2. Casing harus mampu menahan efek tekanan yang berasal Dari casing. 3. Setiap sambungan pada casing harus mampu menahan berat rangkaian casing yang menggantung di bawahnya. 4. Casing harus mampu untuk menahan efek tekanan dari dalam dan luar casing yang terjadi secara serentak. 5. Casing harus mampu menahan gaya kompresi. 6. Casing harus mampu menahan gaya yang menyebabkan caasing menjadi bengkok. 7. Casing harus mampu menahan gaya punter dari casing
a. Centralizer Untuk mendapatkan cincin semen yang baik (merata), casing harus terletak ditengah- tengah lubang, untuk itu casi g dilengkapi dengan centralizer. Fungsi centralizer : Menempatkan lubang. cake.
casing di tengah- tengah
Menyekrap mud
Mencegah terjadinya sticking.
differential
Gambar 2.12. Centralizer
b. Scratchers Adalah alat yang dirangkaikan atau dipasang pada casing dan berfungsi untuk ihkan dinding lubang bor dari mud cake, sehingga didapat lubang bor yang bersih
Gambar 2.12. Scratcher
c. Peralatan floating Peralatan floating terdiri dari shoe dan collar.
Shoe Ada dua jenis shoe yaitu casing shoe dan float shoe yag masingmasing dari shoe tersebut memiliki fungsi sendiri- sendiri. 1. Casing shoe Casing shoe berfungsi sebagai sepatu dan pemandu untuk memudahkan
pemasukan
rangkaian
casing
(running
casing),agar tidak terjadi sangkutan pada dinding lubang bor, shoe ini dibuat dari bahan yang dapat dibor lagi (drillable). 2. Float shoe Pada prinspnya sama dengan casing shoe, hanya pada float shoe dilengkapi dengan valve (katub), yang berfungsi untuk : a. Mencegah aliran balik, mencegah blow out melalui casing pada waktu casing diturunkan. b. Mencegah aliran balik semen, setelah proses penyemenan selesai. c. Memperkecil beban menara, pada adrilling line dan casing itu sendiri. Jadi float ini hanya dapat mengalirkan
semen atau lumpur
kesatu arah saja. Float shoe ini dibuat dari bahan yang dapat di bor lagi.
Gambar 2.13. Float Shoe
Collar Merupakan suatu shock yang dipasang beberapa meter diatas shoe, berfungsi untuk menahan bottom plug dan top plug. Collar dibuat dari bahan yang dapat dibor lagi (drillable). Jenis-jenis collar adalah: 1. Guide collar : tidak dilengkapi valve, sehingga tidak dapat menahan tekanan balik. 2. Float collar : dilengkapi valve.
d. Shoe track Merupakan pipa casing yang dipasang antara shoe dan collar sepanjang satu batang atau lebih, tyergantung ketinggian semen di annulus.
Gambar 2.14. Shoe Track
e.
Cementing plug Cementing plug dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
Bottom plug Berfungsi
untuk
mncegah
dengan bubur semen.
adanya kontaminasi
Jadi, untuk
mendorong
antara lumpur lumpur
yang
berada didalam casing dan memisahkan casing dari semen dan juga ihkan mud film didalam dinding casing.
Top plug Berfungsi untuk mendorong bubur semen, memisahkan semen dari lumpur pendorong agar tidak terjadi kontaminasi, ihkan sisasisa semen dalam casing.
Cast Aluminium
Solid Core
Molded Rubber Body
Rubber Diaphragm
a
Cast Aluminium
b
Hollow Core Molded Rubber Body
Gambar 2.15. Penampang Top Plug (a) dan Bottom Plug (b)
Top Plug Diaphragm Ruptured Solid Core Bottom Plug Float Collar
Gambar 2.16. Posisi Top Plug pada Bottom Plug
2.2.6.2. Sistem Penunjang Lainnya Dalam pelaksanaan
operasi pemboran,
sering
terjadi permasalahan
dimana alat-alat pemboran jatuh kedalam lubang pemboran sehingga perlu dilakukan fishing job. Fishing job adalah merupakan pekerjaan dalam teknik pemboran yang mana pekerjaannya ini berhubunga n dengan pengambilaan kembali alat- alat atau potonganperalatan penunjang
lainnya
potongan
yang penting
alat ke permukaan.
Sistem
adalah Kunci- kunci,
Casing
hanger, serta fishing tools. 1. Kunci- kunci Peralatan- peralatan yang termasuk dlam kategori ini, antara lain adalah sebagai berikut : a. Kunci melepas
Wilson,
digunakan
pada
waktu
menyambung
atau
sambungan rangkaian pipa bor, digantung pada menara bor dan bekerja secara mekanis. b. Power tongs, fungsinya sama dengan kunci Wilson, tetapi bekerja secara hidrolis atau elektris. c. Kunci- kunci dan rantai. d. Tali henep, merupakan tali yang digunakan untuk memperkeras atau melepas sambungan rangkaian pipa bor. 2. Casing hanger Bagian
casng yang terletak
pada ujung
atas berfungsi
untuk
menggantungka n seluruh rangkaian casing yang berada dalam lubang bor, disamping itu juga berfungsi untuk fondasi dari BOP stack. 3. Fishing Tools Untuk
mengambil
benda-
bendakecil
didalam
lubang
bora
da
bermacam- macam alat dimana setiap alat mempunyai fungsi yang berbeda- beda seperti : a.
Junk Basket, mempunyai jari jari yang dapat
ditekuk disekelilingnya jika ditekan.
b.
Boot Junk Basket, dipasang diatas bit (mata bor) dan pada waktu cairan pemboran mengaduk
benda benda, maka benda-benda tersebut
akan mengendap di sekeliling boot yang berfungsi sebagai keranjang. c.
Fishing Magnet, dengan menggunakan Magnet yang dapat menarik benda- benda dari dasar lubang bor.
2.3.
Lumpur Pemboran Peranan lumpur
pemboran adalah
salah satu factor
penunjang
dalam pemboran baik pemboran eksplorasi maupun pengembangan. 2.3.1. Fungsi Lumpur Pemboran Pemilihan system lumpur berkenan dengan sifat- sifat lumpur yang cocok dengan
penanggulangan
problem yang
ditemui
dalam
pemboran.
Dalam hal ini lumpur yang diharapkan dapat memenuhi fungsi- fungsi sebagai berikut :
Sebagai Media pengangkatan Cutting
Membentuk mud cake yang tipis dan licin.
Menahan cutting saat sirkulasi berhenti.
Mendinginkan dan melumasi bit serta rangkaian pipa.
Media logging.
Mengimbangi tekanan formasi.
ihkan dasar lubang bor.
Media informasi.
Mencegah gugurnya dinding lubang bor
2.3.2. Jenis- jenis Lumpur Pemboran Penentuan
jenis
lumpur
bor
dalam
suatu
pemboran
harus
disesuaikan dengan kebutuhan dari keadaan formasinya. Jenis lumpur yang tidak sesuai akan menyebabkan
problem pemboran.
Dibawah
ini
akan
diberikan beberapa jenis lumpur pemboran berdasarkan fasa fluidanya, yaitu : 1. Water Base Mud Bila bahan dasar lumpur adalah air maka lumpur tersebut disebut dengan water base mud. Air yang digunakan dapat berupa air tawar maupun air asin. Lumpur
yang mengandung bahan dasar air tawar disebut fresh water mud, dan bila bahan dasarnya air asin disebut salt water base mud. 2. Emulsion Mud Lumpur yaitu :
jenis ini terbagi menjadi 2
a. Oil In Water Emulsion Mud Pada lumpur ini minyak merupakan fasa tersebar (emulsi) dan air sebagai fasa kontinyu. Sebagai bahan dasar dapat dgunakan baik fresh maupun salt water mud. Sifat- sifat fisik yang dipengaruhi emulsifikasi hanyalah berat lumpur, volume filtrate, tebal mud cakedan pelumasan. Segera setelah di emulsifikasi, filtration loss berkurang. Keuntungannya adalah bit bisa tahan lama, penetrasi rate naik, pengurangan mkorosi pada drill string, perbaikan pada sifat- sifat lumpur, water loss turun, mud cake tipis dan mengura ngi balling (terlapisnya alat oleh padatan lumpur) pada drill string. Viskositas dan gel strength lebih
mudah
dikontrol bila emulsifier juga bertindak sebagai thinner. b. Water In Oil Emulsion Mud Lumpur jenis ini berbahan dasar bentonite + 40 % air + 50 % solar atau menggunakan crude oil + emulsifier + additive. 3. Oil Base Mud Lumpur ini mengandung minyak sebagai fasa kontinyu. Komposisi diatur agar kadar airnya rendah (3 – 5%) volume. Reaktif lumpur ini tidak sensitive terhadap kontaminan. memberi
Tetapi air adalah kontaminan
efek negatif bagi kestabilan lumpur
karena
ini. Untuk mengontrol
viskositas, menaikkan gel strength, mengurangi efek kontaminasi air dan mengurangi filtrate loss, perlu ditambahkan zat-zat kimia. Faedah oil in base mud didasarkan pada kenyataan bahwa filtratnya adalah minyak karena itu tidak akan menghidratkan shale atau clay yang sensitive baik terhadap formasi biasa maupun formasi produktif (jadi juga untuk completion mud). Kegunaan terbesar adalah pada saat komplesi dari work over sumur. Kegunaan
lain
adalah
untuk
melepaskan
drillpipe
sehingga mempermudah pemasangan casing dan liner.
yang terjepit,
4. Gaseous Drilling Fluid Digunakan untuk daerah- daerah dengan formasi keras dan kering. Dengan gas atau udara dipompakan bocor. Keuntungan
pada annulus,
salurannya
tidak
boleh
cara ini adalah penetration rate lebih besar, tetapi
adanya formasi air dapat menyebabkan
bit balling (bit dilapisi cutting
atau padatan-padatan) yang mana merugikan. Juga tekanan formasi yang besar tidak membenarkan digunakannya cara ini. 2.3.3. Sifat Fisik Lumpur Pemboran Komposisi dari lumpur
bor akan menentukan
sifat- sifat serta
performance dari lumpur itu sendiri. Sistem pengontrolnya harus dikoreksi terhadap
formasi selama operasi pemboran berlangsung,
agar lumpur
bor
bekerja sesuai harapan. 1. Densitas Densitas atau berat jenis, didefinisikan sebagai berat lumpur per satuan volume total lumpur. Densitas lumpur yang relative berat bagi suatu
formasi kemungkinan
sebaliknya
jika
terjadinya
akan
densitas lumpur
menyebabkan relative
kecil
circulation,
dapat menyebabkan
blow out. Pengontrola n densitas lumpur dilakukan dengan
menambahkan zat- zat aditif, yang bersifat menaikan densitas
lost
lumpur.
dan menurunkan
Additif yang biasa digunaka n untuk memperbesar
harga densitas antara lain : Tabel 2.2. SG Additif
Additif
SG
Barite
4.3
Limestone
3.0
Galena
7.0
Bijih Besi
7.0
Sedangkan untuk memperkecil atau mengurangi densitas lumpur bor, pada umumnya dipakai additive, seperti air dan minyak. Cara lain untuk memperkecil densitas adalah dengan mengurangi kadar padatan dipermukaan. Permukaan densitas lumpur dapat dilakukan dengan satu
sirkulasi
dan viskositasnya
berat lumpur
harus kecil,
karena dengan penambahan
terjad kenaikan viskositas.
Densitas lumpur
bor akan
dipengaruhi oleh temperatur, densitas akan turun jika temperature naik. Besarnya densitas lumpur akan menentukan tekanan hidrostatik dari kolom lumpur, berdasar persamaan berikut :
Pm 0.052 m depth .......................................................... (2-3)
dimana : Pm
= tekanan hidrostatik kolom lumpur, psi.
ρm
= densitas lumpur,
ppg. Depth = kedalaman, ft. 2. Viskositas Viskositas adalah sifat fisik yang mengontrol besarnya shear stress akibat pergeseran didefinisikan
antara lapisan
fluida.
sebagai perbandingan
antara
Viskositas
dapat pula
shear stress
(tekanan
penggeser) dan shear rate (laju penggeseran). Untuk cairan yang termasuk Newtonian seperti air, perbandingan shear rate dengan
shear
stress
ini
sebanding
dan
konstan
(gambar
3.39),
sedangkan lumpur pemboran adalah termasuk cairan Non-newtonian dimana perbandinga n shear stress dengan shear rate tidak konstan, disebut viskositas semu (apparent viscosity) luas. Tujuan
serta
memberikan
hubungan
dari pengenalan viscositas lumpur ini adalah untuk :
a. Mengontrol tekanan sirkulasi yang hilang di annulus. b. Memberikan kapasitas daya angkat yang memadai. c. Membantu mengontrol swab-pressure dan surge pressure. Viskositas yang terlalu tinggi akan menyebabkan : a. turun.
variasi
Penetration rate
b. Pressure loss tinggi terlalu gesekan.
banyak
yang
c. Pressure surges yang swabbing
berhubungn
yang berhubungan dengan blow out.
dengan
lost circulation
dan
d. Sukar melepaskan gas dan cutting dari lumpur di permukaan. Viskositas yang terlalu rendah menyebabkan : a. Pengangkatan cutting tidak baik. b. Material- material pemberat lumpur diendapkan. Untuk
dapat mengencerkan
lumpur
dapat dilakukan
dengan
pengenceran dengan air atau dengan penambahan thinner (zat- zat kimia), sedangkan penambahan viskositas dapat dilakukan dengan penambahan zat- zat padat/ bentonite pada water base mud dan air atau asphalt pada oil base mud. 3. Gel Strength Di waktu lumpur
bersirkulasi
yang berperan adalah viskositas.
Sedangkan diwaktu sirkulasi berhenti yang memegang peranan adalah gel strength. Lumpur akan mengagar atau menjadi gel apabila tidak terjadi sirkulasi, hal ini disebabkan oleh gaya tarik-menarik partikel
padatan lumpur. Gaya mengagar
inilah
antara partikel-
yang
disebut
strength. Di waktu lumpur berhenti melakukan sirkulasi, lumpur mempunyai
gel
strength yang
gel harus
dapat menahan cutting dan material
pemberat lumpur agar tidak n njm hu turun. Akan tetapi kalau gel strength terlalu
tinggi
pemboran
akan menyebabkan
untuk
memulai
terlalu
sirkulas.
berat kerja pompa Walaupun
lumpur
pompa mempunyai
daya yang kuat, pompa tidak boleh memompakan lumpur dengan daya yang besar, karena formasi bisa pecah. Misalnya sirkulasi berhenti untuk penggantian
bit. Agar formasi tidak pecah di dasar lubang
sirkulas i dilakukan
dengan secara bertahap, dan sebelum
bor, maka melakukan
sirkulasi, rotary table diputar terlebih dahulu untuk memecah gel. Gel strength dapat diklasifikasikan
menjadi dua macam,
progressive gel dan fragile gel. Tipe
yang pertama
strength yang pada mulanya
tetapi
bertambahnya
waktu,
rendah
semakin
yaitu
adalah tipe gel tinggi
dengan
gel strengthnya meningkat terus menerus sampai
mencapai angka tertinggi.
Hal ini sering terjadi pada lumpur yang
mempunyai kadar padatan yang tinggi. Tipe ini
tidak diharapkan,
karena akan mendatangkan banyak kesulitan
dalam
operasi pemboran, seperti : diperlukan tekanan pompa yang besar untuk memula i sirkulasi kembali . Tipe yang kedua adalah tipe gel strength yang pada kondisi awalnya
relatif
sudah
tinggi
dan
hanya
mengalami
kenaikkan yang sangat sedikit saja seiring dengan bertambahnya waktu. Tipe ini hanya memerluka n tenaga pompa yang tidak begitu besar untuk memulai sirkulasi, sehingga penghematan tenaga dan optimasi pemboran diharapkan dapat terpenuhi. 4. Yield Point Titik
keliatan
(yield
point)
adalah
sifat
mengagar
yang
menunjukka n besarnya tekanan minimal yang yang harus diberikan kapada fluida agar fluida tersebut dapat bergerak. Tekanan ini akibat dari gaya tarik-menarik antara partikel-partikel
di dalam lumpur.
adalah
sedangkan sifat
parameter
fluida dinamik,
Titik keliatan menggagar
(gel
strength) adalah parameter fluida static. Titik keliatan (yield Point) di lapangan disebutkan dalam satuan lb/100ft 2 , dan diukur dengan fann VG meter. Harga YP pada Fann VG meter adalah pembacaan skala pada putaran 300 rpm dikurangi
harga PV.
Harga biasa digunakan antara 3 sampai 15 lb/ft2 . Untuk fluida Newtonian harga YP adalah nol. Kenaikan Yp yang berlebihan adalah akibat flukolasi YP yang tinggi baik untuk pembersihan lubang, tetapi akan menimbulkan kehilangan tekanan yang besar. Yield point merupakan menyebabkan
salah
satu komponen
yang
keengganan fluida untuk mengalir, dimana besaran ini merupakan hasil dari gaya tarik-menarik antar partikel di dalam Lumpur yang dinyatakan dalam satuan lb/100ft3 . gaya tarik-menarik ini berasal dari muatan negatif dan positif yang terletak
di atas atau berdekatan dengan
permukaan
partikel. Besaran ini diukur dalam kondisi yang dinamis, berbeda dengan gaya agar diukur pada kondisi statis. Besarnya gaya ini tergantung dari: a. Sifat-sifat permukaan pada Lumpur. b. Konsentrasi volume padatan.
c. Lingkungan padatan.
listrik
dan
Kenaikkan yield point terjadi karena: a.
Karena kemasukan kontaminan yang dapat larut seperti, misalnya garam, semen,
anhydrite
atau gypsum
yang menetralisir
muatan
negatif partikel- partikel clay. b. Karena
kemasukan
akan menyebabkan
padatan
lembab
ke dalam
jarak antar partikel
semakin
sistem
hal
ini
dekat sehingga
gaya tarik- menarik semakin membesar. c.
Karena mengebor shale yang dapat menghidrate atau juga mengebor clay yang mengakibatkan penambahan padatan reaktif ke dalam sistem sehingga meningkatkan
gaya tarik-menarik
yang disebabkan oleh
peningkata n jumlah muatan dan semakan dekatnya jarak antar partikel. 5. Filtration Loss Filtration loss adalah kehilangan lumpur masuk kedalam formasi
sebagian dari fasa cair (filtrat)
permeabel.
Pengukurannya
dilakukan
dengan standar filter press, dimana lumpur ditempatkan pada silinder yang dasarnya dipasang kertas saring, dan bagian atas tabung diberikan tekanan udara/gas. Selanjutnya volume filtrat lumpur dan tebal mud cake dicatat. API filtration rate (statik) adalah volume (cc) filtrat/30 menit pada tekanan 100 psig.
Ketebalan mud cake biasanya
diukur dalam satuan 1/32
inch. Filtration loss yang terlalu besar berpengaruh jelek terhadap formasi maupun lumpurnya
sendiri,
karena dapat menyebabkan
terjadinya
formation damage (pengurangan permeabilitas efektif terhadap minyak / gas) dan lumpur akan kehilangan banyak cairan. Mud cake sebaiknya tipis agar tidak memperkecil lubang bor (pressure loss akan naik, pressure surges/swabbing akan membesar). 2.3.4. Sifat Kimia Lumpur Pemboran Sifat kimia lumpur
pemboran merupakan tingkat reaktifitas
lumpur terhadap kondisi formasi yang ditembus, terutama berkaitan dengan kandungan
kimiawi partikel-partikelnya. sangat menentukan
fungsi
Seperti sifat fisik lumpur, lumpur,
sifat kimia juga
karena performance
lumpur
dapat
berubah dengan adanya pengaruh dari efek kimia partikelnya. Perubahan sifat kimia
yang
tidak sesuai maksud
tujuan
pemboran akan menyulitkan
pengontrolan
lumpur
sehingga treatment terhadap sifat kimia harus selalu
diperhatikan
selama sirkulasi dilakukan. Semua sifat
kimia
diharapkan
mempu memberikan keuntungan yang menunja ng fungsi lumpur pemboran. 1. Padatan Terdapatnya padatan atau solid dalam lumpur pemboran dalam jumlah yang besar dapat mengakibatkan korosi dan abrasi pada peralatan pemboran seperti pompa lumpur, drillstring, casing dan sebagainya. Sebagai contoh padatan yang sering dijumpai adalah pasir, yang mana kadar pasir dalam lumpur dihitung dengan alat yang disebut sand screen set. Set terdiri
dari 200 meshsive
dengan
diameter
2.5 inc
yang
dilengkap i dengan sebuah corong untuk memasang saringan (screen) serta sebuah gelas yang disebut dengan glass measuring dinyatakan pengukur
dalam persentase
yang
dapat diamati
yang mempunya i pembagian
tube. Kadar pasir pada dasar gelas
skala dari 0 – 20% volume.
Sehingga dalam pengukuran harus dipastikan bahwa kadar pasir dari total volume lumpur lebih kecil dari 20% agar tidak menimbulkan kepasiran
yang mengganggu
problem
rate produksi dan merusakkan peralatan
pemboran. Kadar pasir tidak boleh terlalu tinggi karena dapat menimbulkan berbagai permasalahan, diantaranya : a. Padatan memiliki sifat yang abrasive atau mengikis, oleh karena peralatan yang disirkulasi akan terkikis ketika dilalui padatan solid lumpur. b. Padatan dapat menyebabkan berat jenis lumpur akan naik dan hal ini menyebabkan kerja dari pompa lumpur akan semakin berat. 2. pH
pH sebagai salah satu sifat kimia lumpur pemboran merupakan penting di
dalam treatment pada suatu operasi pemboran. Untuk mengukur pH suatu lumpur ada dua cara, yaitu :
a. Modified colorimetric method dengan menggunakan paper strip. b. Electrometric method dengan menggunakan glass electrode. Paper strip method tak dapat dipercaya apabila konsentrasi garam dari contoh
sangat
tinggi,
sedangkan
electrometic
method
akan
mempunya i kesalahan besar untuk larutan yang mengandung ion Na dalam konsentrasi yang tinggi, selain itu diperlukan koreksi temperatur yang harus dilakukan dengan pengukuran pH secara electrometric. Konsentrasi ion hidrogen lumpur pemboran lebih tepatnya digambarkan sebagai harga pH yang menunjukkan harga konsentrasi antara 1 – 14. Harga tersebut mengindikasikan kondisi asam dan basa lumpur, jika harga pH lebih kecil dari 7 menunjukkan bahwa lumpur asam, berharga 7 berarti lumpur netral, sedangkan jika lebih dari 7 menunjukkan lumpur basa. 3. Kesadahan Kesadahan lumpur pemboran dilakukan dengan menyelidiki ion Ca dalam lumpur,
dimana kesadahan total lumpur adalah keadaan dimana
berlaku sebagai total hardness. mengandung
Dengan
keadaan demikian
lumpur
ion Ca dan Mg yang terlalu banyak dalam air dapat
diidentikkan dengan sabun, jika sabun tidak berlarut dalam air maka air tersebut mengandung garam kalsium dan garam magnesium (air sadah). Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kesadahan
total lumpur
yaitu
terkontaminasinya lumpur dengan Ca dan Mg sebagai berikut : a. Pemboran memasuki formasi anhidrat gipsum. b. Penambahan hard make up water. c. Persenyawaan dengan partikel yang mengandung Ca. d. Influks air formasi memiliki kandungan Ca yang tinggi. Apabila kesadahan lumpur tinggi maka akan mengakibatkan yield point rendah, terjadinya water loss yang tinggi dan gel strength rate yang terlalu besar sehingga untuk mengatasinya memerlukan banyak bentonite untuk membentuk gel lumpur yang memadai.
4. Alkalinitas Alkalinitas atau keasaman lumpur ditempatkan dengan harga pH-nya, akan tetapi karakteristik lumpur dapat berfluktuasi meskipun pHnya tetap. Berdasarkan pengalaman diketahui ada korelasi antara sumber alkalinitas di dalam lumpur terhadap sifat-sifat lumpur yang bersangkutan. a. Jika sumbernya hanya berasal dari OH-, menunjukkan lumpur stabil dan kondisinya baik. b. Jika sumbernya berasal dari OH- dan CO-2 3 , menunjukkan
lumpur
stabil dan kondisinya baik. c. Jika sumbernya hanya berasal dari CO -2 3 , menandakan lumpur tidak stabil tetapi masih bisa dikontrol. d. Jika sumbernya berasal dari CO -2 3 dan HCO -3 , berarti lumpur tidak stabil dan sulit untuk dikontrol. e. Jika sumbernya hanya berasal dari HCO -3 , kondisi dari lumpur sangat jelek dan sulit untuk dikontrol. 5. Salinitas Penentuan salinitas (kadar Cl) dalam lumpur diperlukan terutama jika pemboran melalui daerah yang mana garam dapat terkontaminasi dengan fluida pemboran garam.
Jika
yaitu
daerah
yang
terdapat
kubah-kubah
terjadi kandungan chlor melebihi 6,000 ppm sebaiknya
program penggunaan lumpur diubah sesuai dengan keasaman. Kandungan Cl yang terlalu besar juga mempengaruhi dalam operasi logging harus diadakan koreksi untuk menginterpretasi Cl
loggingnya.
di dalam lumpur dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Salt mud jika kandungan Cl antara 10,000 – 31,500 ppm. b. Saturated salt mud jika kandungan Cl 31,500 ppm.
karena
Kandungan
Cara penanggulangan kerusakan lumpur yang diakibatkan oleh ion chlor antara lain adalah : a. Jika mud cake terlalu tebal dan filtration loss terlalu besar dapat diperbaiki dengan menambah organic koloid. b. Jika pH dibawa dibawah 8, maka perlu preserfatif untuk menahan fermentasi starch. Jika padatan sukar dicapai karena fluktuasi
oleh clay suspensi
dapat diperbaiki dengan penggunaan attapulgite sebagai pengganti bentonite. 2.3.5. Komposisi Lumpur Pemboran Secara umum lumpur pemboran terdiri dari 3 komponen atau fasa pembentuk sebagai berkut : 1. Fasa cair (air atau minyak) Fasa cair Lumpur pemboran pada umumnya dapat berupa air, minyak, atau campuran air dan minyak. Air dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu air tawar dan air asin. Air asin juga dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu air asin tidak jenuh dan air asin jenuh. Sekitar 75% Lumpur pemboran menggunakan air karena mudah didapat, murah, mudah dikontrol jika terdapat padatan-padatan (solid content) dan merupakan fluida yang paling baik sebagai media penilaian formasi. Istilah oil- base muds digunakan jika kandungan minyaknya lebih besar dari 95%. Sedangkan emulsion muds mempunyai komposisi minyak 50-70% (sebagai fasa kontinyu) dan air 30-50% (sebagai fasa diskontinyu). 2. Fasa padat (reactive solids dan inert solid). Reactive solid atau fasa padatan yang bereaksi dengan sekelilingnya membentuk koloid yang merupakan suspensi yang reaktif terdispersi dalam fasa kontinyu (sifat koloid lumpur yang merupakan lembaran clay yang berukuran 10-20 Amstrong dan terdispersi dalam fasa kontinyu air). Sedangkan Inert Solid, yaitu Non-reactive solid merupakan zat padat yang tidak bereaksi (inert solid). Non-reactive solid meliputi padatanpadatan dengan
berat jenis
rendah (low-gravity) dan berat jenis
Padatan low gravity meliputi
: pasir,
tinggi
(high-gravity).
chert, limestone, dan dolomite,
berbagai macam shale, dan campuran dari berbagai macam mineral. Padatan-padatan ini berasal dari formasi
yang dibor dan terbawa oleh
lumpur, dan biasannya mempunnya i ukuran yang lebih besar dari 15 mikron, dan bersifat abrasif, sehingga dapat merusak peralatan sirkulasi lumpur, seperti liner pompa, oleh karena padatan tersebut harus segera dibuang.
Menurut
Klasifikasi
API, pasir adalah setiap padatan yang
berukuran lebih besar dari 74 mikron; meskipun demikian setiap padatan yang berukuran lebih kecil dari pasir juga dapat merusak peralatan. Padatan dengan berat jenis tinggi (high-gravity solid) ditambahkan ke dalam lumpur
untuk
menaikkan
disebut sebagai material
pemberat
densitas.
Padatan tersebut biasanya
(weighting material), dan lumpur
pemboran yang mengandung padatan tersebut sebagai ”lumpur berat”. Ada beberapa jenis high- gravity solid yang pada saat ini banyak digunakan yaitu : a.
Barite (BaSO 4 ) yang mempunnyai
SG 4.2 dan digunakan
untuk
membuat lumpur dengan berat jenis sampai 10 ppg (1.19 kg/l). Barite lebih banyak digunakan dibanding dengan bahan pemberat yang lain, karena harganya murah dan tingkat kemurniannya cukup baik. b.
Lead sulphide, seperti galena
yaitu
digunakan
sebagai material
pemberat karena SG-nya tinggi, yaitu antara 6.5 sampai 7.1 dan dapat menghasilka n densitas lumpur sampai 35 ppg (4.16 kg/l). c.
Bijih besi, mempunyai SG ±5, tetepi lebih erosif dibanding dengan bahan pemberat lainnya. Selain itu, bijih besi juga mengandung bahanbahan yang beracun.
3. Bahan kimia (additive) Didalam
lumpur
pemboran selain terdiri atas komponen pokok
lumpur, maka ada material tambahan yang berfungsi mengontrol dan memperbaiki sifat - sifat lumpur agar sesuai dengan keadaan formasi yang dihadapi selama operasi pemboran. Berikut ini akan disebutkan beberapa bahan kimia tersebut, yaitu
untuk
tujuan
: menaikkan
berat jenis
lumpur,
menaikkan
viskositas, menurunkan viskositas, menurunkan filtration loss dan lain-lain. 2.3.6. Hidrolika Lumpur Pemboran 2.3.6.1.Sifat Aliran 1. Laminer, yaitu suatu aliran dimana gerak aliran partikel- partikel fluidanya pada kecepatan yang agak lambat, teratur dan sejajar dengan arah aliran (dinding pipa). Pada aliran ini partikel- partikel yang ada didekat dinding hampir tidak bergerak, sementara partikel- partikel lainyag ada di tengah bergerak lebih cepat. 2. Turbulen, yaitu suatu aliran dimana fluida bergerak dengan kecepatan yang lebih cepat. Partikel – partikelnya bergerak pada garis – garis yang tidak teratur serta geseran yang terjadi juga tidak teratur. 3. Plug Flow, yaitu aliran yang terjadi khusus untuk fluida plastic, dimana gerak geser terjadi didekat dinding pipa saja dan di tengah–tengah aliran terdapat suatu aliran tanpa geseran seperti suatu sumbat. 2.3.6.2.Jenis Fluida Pemboran Fluida pemboran dapat dibagi menjadi : 1. Newtonian Fluida, adalah fluida dimana viscositasnya hanya dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur, misalnya air, gas dan minyak yang encer. Dalam hal ini perbandingan
antara shear stress dan shear rate adalah
konstan, dinamakan viscositas(). Secara matematis, ini dapat dinyatakan dengan: f dVr ........................................................................... (2-4) r gc dr dimana : r
= gaya shear per unit luas (shear stress)
dVr/dr = shear rate. gc
= convertion konstan.
Tanda negative
pada rumus
di atas menunjukan
bahwa
dengan bertambahnya jari-jari, maka kecepatan menurun. 2. Non Newtonian Fluida Adalah fluida yang perbandingannya antara shear stress dengan shear ratenya tidak konstan. Jenis fluida ini dibagi lagi menjadi: a. Bingham plastic Fluida pemboran dianggap
sebagai bingham plastic,
dalam hal ini
sebelum terjadi aliran harus ada minimum shear stress yang melebihi suatu harga minimum dilampaui,
yield
point.
untuk penambahan
menghasilkan
Baru
setelah
yield
point
shear stress lebih
lanjut
akan
shear rate sebanding dengan plastic viscosity untuk
bingham plastic, jadi:
σ σy (2-5)
dVr
μp
gc
..........................................................
dr
dimana : = shear stress, dyne/cm2 . y = yield point, lb/100 ft2 . dVr/dr = shear rate, sec-1 . gc = convertion constanta, 32ft/sec2 .
Gambar 2.17. Skema Dari Grafik Aliran Fluida Newtonian Bingham Plastic
b. Power law fluid Untuk
pendekatan
power
law
dilakukan
dengan
menganggap
kurva hubungan shear stress terhadap shear rate pada kertas – kertas log mengik ut i garis lurus yang ditarik pada shear rate 300 rpm dan 600 rpm. Untuk ini power law dinyatakan sebagai : K n dVr ............................................................... (2-6) dr
Gambar 2.18. Kurva Shear Rate dan Shear Stress Pada Kertas Log – Log
c. Power law fluid dengan yield stress Untuk fluida jenis ini dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut: n
dVr ........................................................... (2-7) y K dr
2.4.
Semen Pemboran Penyemenan
merupakan
salah
satu
kegiatan
utama
dalam
operasi pemboran yang dilakukan setelah pemboran berakhir dengan tujuan merekatkan casing dengan formasi .
2.4.1. Fungsi Penyemenan Cementing atau penyemenan adalah proses pendorongan bubur semen ke dalam casing dan naik ke annulus yang kemudian didiamkan sampai semen tersebut mengeras hingga mempunyai sifat melekat baik terhadap casing maupun formasi. Fungsi semen pemboran dalam suatu pemboran dari sumur adalah : 1. Melindungi casing / liner dari tekanan yang datang dari bagian luar casing yang dapat menimbulkan collapse. 2. Mencegah adanya migrasi fluida yang tidak diinginkan dari satu formasi ke formasi lain. 3. Melindungi casing terhadap pengaruh cairan formasi yang bersifat korosif. 4.
Mengurangi
kemungkinan
terjadinya
semburan
liar atau blow out
melalui annulus, melindungi casing terhadap tekanan formasi. Untuk
memenuhi
fungsi-fungsi
tersebut
di atas,
maka semen
pemboran harus memenuhi beberapa syarat, yaitu : 1. Semen setelah ditempatkan harus mempunyai kekuatan atau strength yang cukup besar dalam waktu tertentu. 2. Semen harus memberikan daya ikat casing dengan formasi yang cukup atau baik. 3.
Semen tidak boleh terkontaminasi
dengan kotoran (cairan formasi)
maupun cairan pendorong semen. 4.
Semen harus stabil atau tidak mudah berubah strength-nya setelah beberapa waktu dari penempatannya.
5. Semen harus impermeable (permeabilitas nol) 2.4.2. Macam Penyemenan Prosedur untuk penyemenan dibagi menjadi dua, yaitu primary cementing dan secondary cementing. 1.
Primary Cementing, adalah proses penyemenan yang dilakukan segera setelah casing dipasang. Di dalam primary cementing ini, pertimbangan teknis dan ekonomis tidak dapat dikesampingkan. cementing adalah :
Tujuan dari primary
a. Memisahkan lapisan yang akan diproduksi dengan lapisan – lapisan yang lainnya. b. Mencegah terjadinya aliran fluida (air, minyak atau gas) dari satu lapisan ke lapisan yang lain. c. Memberi kekuatan pada lapisan yang lemah. d. Melindungi casing dari korosi. e. Melindungi casing terhadap tekanan dari luar. f.
Memberi kekuatan pada casing.
g. Mencegah terjadinya blow out dari annulus. Primary cementing yang buruk dapat menyebabkan semen gagal mengiso las i zona – zona yang diinginkan. Kegagalan ini memberi pengaruh – pengaruh : a. Stimulasi yang tidak efektif. b. Kesalahan dalam evaluasi reservoir. c. Adanya hubungan dengan fluida yang tidak diinginkan. d. Pengangkatan fluida yang berlebihan. e. Akumulasi gas didalam annulus. Tubing Production Packer Production Casing
Gas Gas-Oil Perforasi
Oil
Upper perforations must be squeezed with cement to reduce gas flow
Gambar 2.19. Primary Cementing
Lost circulation zone
Casing
Casing Cement
Open hole
Cem ent
Casing
Water sand
Cement
Heaving shale
Melindungi formasi yang akan dibor
Shale
Shallow , weaker zones
Oil sand
Increased Mud weight required to control pressures
High pressure zones
Mengisolasi formasi yang bertekanan tinggi
Melindungi daerah produksi dari zona water-bearing sands
Gambar 2.20. Tujuan Primary Cementing
2.
Secondary
Cementing,
adalah
primary cementing dilaksanakan. memperbaiki dan membantu penyemenannya
penyemenan
kosong,
maupun
zona
kedua
setelah
Penyemenan tahap kedua ini bersifat
penyemenan
tahap
pertama
karena
kurang sempurna. Secondary cementing merupakan proses
pendorongan bubur semen dibawah ruang
tahap
suatu
seperti perforasi, rekahan, yang
porous.
Operasi
tekanan
tertentu
kedalam
celah dibelakang
casing,
ini banyak dilakukan
dalam
pekerjaan komplesi dan work over dengan tujuan : 1. Untuk mengontrol GOR tinggi, dengan membatasi zona minyak dengan zona gas. GOR ini perlu dikontrol untuk memperbaiki produksi minyak. 2. Untuk mengotrol produksi air atau gas yang berlebihan. Zona air atau gas biasanya dapat di squeeze untuk memperkecil intrusi air atau gas. 3.
Memperbaiki kebocoran casing,
semen dapat diselipkan
melalui
lubang akibat korosi pada casing. 4. Untuk menyekat zona lost circulation. 5. Untuk mencegah migrasi fluida lain kedalam zona yang diproduksikan (block squeezing). 6. Untuk mengisolasi
zona-zona
permanent completion. Hal ini lazim
dipraktekkan di beberapa area. Setelah suatu sumur dengan banyak zona produksi, kemudian dipasangi pipa dan masing – masing zona diisolas i dengan semen.
7.
Untuk memperbaiki primary cementing, persoalan yang dihasilkan adalah dari adanya channeling. Penyemenan yang tidak mencukupi pada primary cementing seringkali dapat diatasi dengan secondary cementing.
8. Untuk menutup
perforasi lama,
atau zona produksi pada open
hole completion. 2.4.3. Klasifikasi Semen Pemboran 1.
Kelas A : Digunakan dari permukaan sampai kedalaman 6000 ft (1830 meter) dengan temperatur hingga 800 C dan tidak tahan terhadap sulfate. Tersedia hanya dalam tipe Ordinary (O), digunakan pada kondisi normal. (Setara dengan ASTM C-150 tipe I).
2.
Kelas B : Digunakan dari permukaan sampai kedalaman 6000 ft (1830 meter) dan temperatur
hingga
800 C dengan kondisi formasi banyak
mengandung sulfate. Tersedia hanya dalam tipe Ordinary (O) dan Moderate Sulfate Resistent (MSR). (Setara dengan ASTM C-150 tipe II). 3. Kelas C : Digunakan dari permukaan sampai kedalaman 6000 ft ft (1830 meter) dan temperatur hingga 800 C pada kondisi dimana diperlukan pengerasan yang cepat. Tersedia semen tipe Ordinary (O), Moderate Sulfate Resistent (MSR) dan High Sulfate Resistent (HSR). (Setara dengan ASTM C -150 tipe III). 4. Kelas D : Digunakan dari kedalaman 6000 ft (1830 meter) sampai 10.000 ft (3050 meter) dengan kondisi tekanan formasi dan temperatur agak tinggi (antara 80 – 1300 C). Tersedia semen tipe Moderate Sulfate Resistent (MSR) dan High Sulfate Resistent (HSR). 5. Kelas E : Digunakan dari kedalaman 10.000 ft (3050 meter) sampai 14.000 ft (4270 meter) dengan kondisi temperatur (130 – 1450 C) dan tekanan formasi tinggi. Tersedia semen tipe Moderate Sulfate Resistent (MSR) dan High Sulfate Resistent (HSR). 6. Kelas F : Digunakan dari kedalaman 10.000 ft (3050 meter) sampai 16.000 ft (4880 meter) dengan kondisi
temperatur
(130 – 1600 C)
dan tekanan
formasi yang sangat tinggi. Tersedia semen tipe Moderate Sulfate Resistent (MSR) dan High Sulfate Resistent (HSR).
7.
Kelas
G :
Digunakan
sebagai
semen
dasar untuk
penyemenan
dengan kedalaman dari permukaan sampai 8000 ft (2440 meter) dengan temperatur hingga 900 C. Bila ditambah dengan additives, maka semen kelas G ini dapat digunakan pada tekanan dan temperatur yang lebih tinggi serta kedalaman yang lebih. sebagai semen dasar dan jika diperlukan dapat ditambah
additives
yang sesuai. Tersedia semen tipe Moderate Sulfate
Resistent (MSR) dan High Sulfate Resistent (HSR). 8. Kelas H : Digunakan sebagai semen dasar untuk penyemenan dengan kedalaman dari permukaan sampai 8000 ft (2440 meter) dengan temperatur hingga 950 C. Tersedia semen tipe Moderate Sulfate Resistent (MSR) dan High Sulfate Resistent (HSR). Tabel 2.3. Klasifikasi Semen Berdasarkan API
API
Mixing Slurry Weight Water
Well Depth
Static Temperatur
Classification
(gal/sk)
(lb/gal)
(ft)
(0 F)
A (portland)
5.2
15.6
0 to 6.000
80 to 170
B (portland)
5.2
15.6
0 to 6.000
80 to 170
C (high early)
6.3
14.8
0 to 6.000
80 to 170
D (retarded)
4.3
16.4
6.000 to 12.000
170 to 260
E (retarded)
4.3
16.4
6.000 to 14.000
170 to 290
F (retarded)
4.3
16.2
G (basic)
5.0
15.8
0 to 8.000
80 to 170
H (basic)
4.3
16.4
0 to 8.000
80 to 203
10.000 to 16.000
230 to 320
2.4.4. Komposisi dan Pembuatan Semen Semen yang biasa dipergunakan dalam industri perminyakan adalah semen Portland, dikembangkan
oleh Joseph Aspdin tahun 1824. Disebut
Portland karena mula-mulanya bahannya didapat dari pulau Portland di Inggris. Semen Portland ini
termasuk
semen
hidrolis
dalam arti akan mengeras
bila bertemu
atau
bercampur dengan air. Semen Portland mempunyai 4 komponen mineral utama, Gambar 3.21. yaitu :
Gambar 2.21. Empat Komponen Semen Portland
1. Silicate
Tricalcium
Tricalcium silicate (3CaO.SiO 2 ) dinotasikan sebagai C 3 S, yang dihasilkan dari kombinasi CaO dan SiO 2 . Komponen ini merupakan yang terbanyak dalam semen Portland, sekitar 40 % - 50 % untuk semen yang lambat proses pengerasannya
dan sekitar 60 % - 65 % untuk semen yang
cepat proses pengerasannya (high-early strength cement). Komponen C 3 S pada semen memberikan strength yang terbesar pada awal pengerasan. 2. Silicate
Dicalcium
Dicalcium
silicate
(2Cao.SiO 2 ) dinotasikan
sebagai C 2 S, yang juga
dihasilka n dari kombinasi CaO dan SiO 2 . Komponen ini sangat penting dalam memberika n final strength semen. Karena C 2 S ini menghidrasinya lambat maka tidak terpengaruh dalam setting time semen, akan tetapi sangat menentukan dalam kekuatan semen lanjut. Kadar C 2 S dalam semen tidak lebih dari 20 %.
3. Trilcalcium Aluminate Tricalcium
aluminate
(3Cao. Al2 O3 ) dinotasikan
sebagai C 3 A, yang
terbentuk dari reaksi antara Cao dengan Al2 O3 . Walaupun
kadarnya
lebih kecil dari komponen silikat (sekitar 15 % untuk high early strength cement dan sekitar 3 % untuk semen yang tahan terhadap sulfat), namun berpengaruh pada rheologi suspensi semen dan membantu proses pengerasan awal pada semen. 4. Tetracalcium Aluminoferrite Tetracalcium
aluminoferrite
(4Cao.Al2 O3.Fe2 O3 ) dinotasikan
sebagai
C 4 AF, yang terbentuk dari reaksi Cao, Al2 O3 dan Fe2 O3. Komponen ini hanya sedikit pengaruhnya
pada
strength
semen.API
menjelaskan
bahwa kadar C 4 AF ditambah dengan 2 kali kadar C 3 A tidak boleh lebih dari 24 % untuk semen yang tahan terhadap kandungan sulfat
yang
tinggi. Penambahan oksida besi yang berlebihan akan menaikkan kadar C 4 AF dan menurunkan kadar C 3 A, dan berfungsi menurunkan panas hasil reaksi / hidrasi C 3 S dan C2 S. Semen Portland terbuat dari bahan-bahan mentah
tertentu,
pemilihan
bahan-bahan
mentah tersebut sangat
berpengaruh terhadap komposisi bubuk semen yang diinginka n. Ada 2 macam bahan mentah yang dibutuhkan
dalam menghasilkan
semen
Portland, yaitu : a. Calcareous
Material
Material ini berisi kalsium karbonat dan kalsium oksida yang terdiri dari limestone dan batuan semen. Limestone adalah batuan terbentuk dari sebagain besar zat zat organik sisa (seperti kerang laut atau koral) yang terakumulasi. Limestoe ini merupakan komponen dasar dari kalsium karbonat. Batu semen adalah batuan yang komposisinya serupa dengan semen batuan. Kapur adalah limestone kekuning-kuningan atau abu-abu dan halus yang sebagian besar dari kerang-kerang laut.
Marl atau tanah kapur adalah tanah yang rapuh dan mengandung bahan- bahan pokok kalsium karbonat.
Alkali
disini
berasal dari pembuangan
zat-zat kimia
pabrik
yang mengandung kalsium oksida atau kalsium karbonat. b. Material Argillaceous Material ini berisi clay atau mineral clay. Clay adalah bahan yang bersifat plastis
bila basah dan keras
bila dipanaskan . Terdiri dari sebagian aluminium
silikat
dan
mineral lainnya. Shale adalah batuan fosil yang terbentuk dari gabungan clay, lumpur dan silt (endapan lumpur). Slate adalah batu tulis adalah batuan padat dan berbutir baik, yang dihasilkan dari pemampatan clay, shale dan batuan lainnya. Ash adalah abu merupakan produk pembakaran batu bara. Pembuatan berikut :
Semen Portland
melalui
beberapa tahap
1. Proses Peleburan Dalam bagian ini ada dua cara yang umum digunakan, yaitu : a. Dry process Pada awal proses ini, dihancurkan.lalu
mineral
dikeringkan
clay
dan limestone
sama-sama
di rotary dries. Hasilnya
dibawa ke
tempat penggilingan untuk dileburkan.
Kemudian
hasil leburan ini
masuk ketempat penyaringan, dan partikel-partikel yang kasar dibuang dengan sistem sentrifugal. beberapa
silo
Hasil
saringan
ini
ditempatkan
di
(tempat berbentuk tabung yang tertutup) dan setelah
didapat komposisi kimia yang diinginkan, kemudian akan melalui proses pembakaran Kiln. Susunan peralatannya dapat dilihat pada Gambar 2.22.
Gambar 2.22. Dry Process
b. Wet Process Material-material mentah dicampur dengan air, lalu dimasukan ke tempat penggilingan
(Grinding
Mill).
Campuran
ini
kemudian
yang
kasar
dipompa melalui ‘Vibrating
Screen’.
Material-material
dikembalika n kepenggilingan, sementara campuran yang lolos yang berupa suspensi ini ditampung pada suatu tempat berbentuk kolomkolom.
Di tempat
pemampatan
sehingga
ini pula, komposisi komposisi
ini, suspensi
mengalami
proses rotasi dan
didapat campuran yang homogen. Di tempat
kimia
yang diinginkan
suspensi di ubah-ubah untuk didapatkan sebelum
dibawa ke Kiln.
peralatannya dapat dilihat pada Gambar 2.23.
Susunan
Gambar 2.23. Wet Process
2. Proses Pembakaran Setelah
melalui
salah
satu
proses peleburan
di atas,
campuran
tersebut dimasukan ketempat pembakaran (Kiln). Di Kiln, campuran ini berputar-putar kemudian berubah menjadi clinker, pada Gambar 2.24. Ada 6 tahap temperatur yang harus dilalui campuran di Kiln, yaitu :
Gambar 2.24. Proses Pembakaran
a.
Tahap 1 (sampai 2000 C), di tahap ini mengalami proses penguapan air bebas.
b. Tahap 2 (200 – 8000 C), pada tahap ini mengalami pemanasan, dimana
partikel-partikel
clay
mengalami
proses pradehidroksidasi
(pembebasan unsur-unsur hidroksida). c. Tahap 3 (800 – 11000 C) dan Tahap 4 (1100 –13000 C), pada tahap ini mengalami
proses pembebasan
unsur
karbon (dekarbonisasi).
Dehidroksidasi mineral- mineral clay disempurnakan dan didapat hasil yang berbentuk kristal. Kalsium karbonat membebaskan sejumlah besar karbondioksida. Produk bermacam-macam kalsium aluminat dan ferit mulai terjadi. d.
Tahap 5 (1300 – 1500 – 13000 C), pada tahap ini, sebagian campuran reaksi mencair. dan
Dan suhu
15000 C (Clinkering
temperature),
C2S
C3S terbentuk. Sementara itu lime, alumunia dan oksida besi
tetap dalam fasa cair. e. Tahap 6 (1300 – 10000 C), pada tahap ini, C 3 A dan C4 AF berubah dari fasa liquid kristal.
menjadi padat dan berbentuk
3. Proses Pendinginan Proses pendinginan
sebenarnya telah dimulai dari sebagian tahap 5,
ketika temperatur mulai menurun dari ‘ clinkering temperature’. Kualitas clinker dan selesainya
pembuatan semen sangat tergantung dari laju
pendinginan perlahan - lahan sekitar 4 – 50 C (7 – 80 F) sampai suhu 12500 C, kemudian pendingina n cepat sekitar 18 - 200 C (32 – 360 F) per menit. Saat laju pendinginan lambat 4 50 C, C3 A dan C4 AF dengan cepat mengkristal,
kristal
C 3 S dan C 2 S
menjadi lebih teratur dan MgO bebas juga meng-kristal (Mineral ini disebut Periclase). Pada kondisi strenght
ini,
awal tinggi, namun
aktifitas
hidrolik
stenght lanjutnya
kecil.
Compressive
rendah. Saat laju
pendinginan cepat, fasa liquid (yang terjadi pada tahap 5) memadat seperti gelas. C 3 A dan C2 S menurun. MgO bebas tetap dalam fasa gelas, sehingga menjadi kurang aktif dan menyebabkan semen
menjadi kurang kokoh. Pada kondisi ini, Compressive strenght awal rendah, namun strenght lanjutnya tinggi. 4. Proses Penggilinga n Pada tabung penggiling sekitar
ada bola-bola baja, yang dapat mengakibatkan
97 – 99 % energi yang masuk diubah menjadi panas. Oleh karena itu diperlukan pendinginan,
karena bila terlalu panas akan banyak gipsum
yang menghid ras i menjadi kalsium larutan
anhidrit
sulfat
hemihidrat
(CSH1/2) atau
(CS). Akhirnya dari proses penggilingan pada Gambar
3.60, didapat bubuk semen yang diinginkan,
yang
dihasilkan
dari
penggilingan clinker dengan gipsum (CSH2 ).
Gambar 2.25. Proses Penggilingan
2.4.5. Sifat Fisik Semen Pemboran Bubur semen yang dibuat harus disesuaikan
sifat-sifatnya
dengan
keadaan formasi yang akan disemen. Sifat-sifat bubur semen yang dimaksud adalah sebagai berikut permeabilitas
: density, thickening time, strength, sifat
semen, kualitas
tekanan serta temperature.
perforasi,
filtrasi,
ketahanan korosi dan pengaruh
1. Densitas Penambahan
air dan additives akan berpengaruh pada density bubur
semen. Pada umumnya density bubur semen dibuat lebih besar dari density lumpur,
hal ini mengingat bahwa kontaminasi lumpur akan meningkat
dengan density yang relatif
sama. Penentuan
density bubur semen
tergantung dari faktor berat jenis bubuk semen dan air. Density ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus : Gbk Gw Ga ............................................ (2-8) Dbs Vbk Vw Va dimana : Dbs
: Densitas suspensi semen,
ppg. Gbk
: Berat bubuk semen, lb.
Gw
: Berat air, lb.
Ga
: Berat additives, lb.
Vbk
: Volume bubuk semen,
gal. Vw Va
: Volume air, gal.
: Volume additives, gal.
Densitas
suspensi semen
sangat berpengaruh
terhadap tekanan
hidrostatis suspensi semen di dalam lubang sumur. Bila formasi tidak sanggup
menahan tekanan suspensi semen,
maka akan menyebabkan
formasi pecah, sehingga terjadi lost circulation. Untuk mengurangi densitas suspensi semen dapat ditambahkan clay, zat-zat kimia silikat jenis jenis extender atau bahan-bahan yang dapat memperbesar
volume
suspensi
semen seperti pozzolan. Untuk memperbesar densitas suspensi semen dapat ditambahkan
pasir atau material- material pemberat ke dalam suspensi
semen seperti barite. 2.
Thickening Time & Viskositas Bubur semen harus tetap dalam keadaan cair agar dapat dipompakan
ke tempat dimana semen harus mengeras dalam waktu tertentu. Thickening
Time (pumpability) adalah waktu yang dibutuhkan mencapai
bubur semen untuk
konsistensi 100 poise. Harga 100 poise ini merupakan batas bubur semen masih dapat dipompakan. Dalam hidrasinya semen makin lama makin mengeras
dan naik
viskositasnya.
Viskositas
pada semen
disebut
konsistensi karena semen merupakan fluida yang Non-Newtonian dan ini untuk membedakan terhadap istilah viskositas fluida newtonian. Untuk memperpanjang
atau memperpendek thickening
time
adalah
dengan
menambahkan additives-additives ke bubur semen. Besarnya dari
thickening time yang diperlukan
kedalaman penyemenan,
adalah tergantung
volume bubur semen yang akan dipompakan
serta jenis penyemenan. Umumnya thickening time adalah 3 – 3,5 jam untuk penyemenan dengan kedalaman termasuk waktu pembuatan bubur
6.000 – 18.000 ft. Waktu tersebut
semen sampai penempatan semen di
belakang casing ditambah dengan harga safety faktor, sedangkan pada penyemenan semakin
yang lebih dalam dimana tekanan dan temperatur akan
tinggi
sehingga
diperlukan
additives-additives
untuk
memperlambat pengerasan (thickening time). Untuk memperpanjang thickening time perlu ditambahkan retarder ke dalam suspensi semen, seperti kalsium lignosulfonat,
carboxymethil retarder
cellulose dan senyawa-senyawa
Untuk
thickening time dapat
asam organik.
ditambahkan
accelerator
ke
memperpendek dalam
suspensi
semen seperti kalsium klorida, sodium klorida, gypsum, sodium silikat, air laut dan additives yang tergolong dispersant. Bila semen mengeras di dalam casing merupakan problema yang fatal bagi operasi pemboran selanjutnya.
Waktu pemompaan
(pumpability
time) yang maksimum umumnya disamakan dengan thickening time dengan pertimbanga n faktor keamanan.
Waktu pemompaan
yang diperlukan
dipengaruhi oleh tinggi kolom dan volume suspensi semen yang harus dipompakan, kecepatan laju alir pemompaan dan temperatur operasi sumur tersebut. 3. Filtration Loss
Filtration loss adalah peristiwa hilangnya cairan dalam suspensi semen ke dalam formasi permeabel yang dilaluinya. Cairan atau umumnya air yang
masuk ini disebut dengan filtrat. Filtrat yang hilang tidak boleh terlalu banyak, karena akan membuat
suspensi
semen kekurangan
air yang
disebut dengan flash-set. Bila suspensi semen mengalami flash-set, maka akibatnya akan sama jika air yang dicampurkan dalam bubur semen yang jumlahnya
lebih kecil dari kadar minimumnya.
Akibatnya friksi pada
annulus akan naik, pressure loss naik dan tekanan bubur semen di annulus juga naik. Bila hal ini terjadi, maka formasi akan rekah. Jadi dapat disimpulkan,
bila formasi yang akan dilalui bubur semen merupakan
formasi yang porous dan permeabel, maka perlu penambahan additives yang sesuai sebelum bubur semen dipompakan.
Filtration loss yang
direkomendasikan oleh API adalah : a. Untuk formasi permeabel dengan zona gas, dimana migrasi gas mudah terjadi maka semen dianjurkan memiliki semen fluid loss antara 20 – 40 ml / 30 menit. b.
Untuk semen densitas tinggi dengan pengurangan kadar air yang dapat menimbulkan terutama
gangguan
pada operasi pemompaan
pada pemompaan yang rendah API fluid
semen
lossnya adalah
kurang dari 50 ml / 30 menit. c. Dan untuk semen casing produksi API fluid lossnya kurang dari 100 ml / 30 menit. Pengujian filtration loss di laboratorium menggunakan alat filter press pada kondisi temperatur filter
loss mempunyai
sirkulasi
dengan tekanan 1000 psi. Namun
kelemahan
yaitu temperatur maksimum yang
dapat digunakan hanya sampai 900 F (1940 C). Filtration loss diketahui dari volume filtrat yang ditampung selama
30 menit
dalam sebuah tabung atau gelas ukur
masa pengujian. Bila waktu pengujian tidak sampai 30
menit maka besarnya filtration loss dapat diketahui dengan rumus : F30
Ft
5.477 ................................................................ (2-9) t
dimana : F30
: Filtrat pada 30
menit. Ft
: Filtrat pada t
menit. t
: Waktu pengukur, menit.
4. Water Cement Ratio (WCR) Water cement ratio adalah perbandingan antara volume air dan semen yang dicampurkan
untuk
mendapatkan
sifat-sifat
bubur semen yang
diinginkan. Air yang dicampurkan tidak boleh terlalu banyak ataupun kurang, karena akan mempengaruhi
baik-buruknya
ikatan
semen
nantinya.
Batasannya diberikan dalam bentuk kadar maksimum dan minimum air. Kadar air minimum
adalah jumlah
air yang dicampurkan
tanpa
menyebabkan konsistensi suspensi semen lebih dari 30 Uc. Bila air yang ditambahkan lebih kecil dari kadar minimumnya maka akan menaikkan densitas yang
suspensi semen
cukup
yang akan menimbulka n gesekan
besar di annulus
sewaktu suspensi
(friksi)
semen dipompakan
yang akhirnya akan menaikkan tekanan di annulus. Kadar air maksimum ditunjukkan oleh adanya kandungan air yang bebas (free water) yang dapat dicari dengan mengambil suspensi semen sebanyak 250 ml, kemudian didiamkan selama 2 jam sehingga akan terjadi air bebas pada bagian atas tabung. Untuk semen kelas G air bebas yang terjadi tidak boleh lebih dari 3,5 ml (1.4%). Bila air bebas yang terjadi melebihi 3,5 ml maka akan terjadi pori-pori pada semen. Dan ini akan mengakibatkan
semen mempunya i permeabilitas yang besar. Kandungan
air normal dalam suspensi semen yang direkomendasikan oleh API dapat dilihat pada tabel 2.4.
Tabel 2.4. Kandungan Air Normal Pada Suspensi Semen
PROPERTIS OF NEAT CEMENT SLURRIES Class Mixing
Slurry
Gallon
Weight
Mixing
lb/gal
Cuft Slurry Percent
water / sak sk. Cement
water
A
15.6
5.2
1.18
46
B
15.6
5.2
1.18
46
C
15.8
6.32
1.32
56
D
16.46
4.29
1.05
38
G
15.8
4.97
1.15
44
H
16.46
4.29
1.05
38
5. Waiting On Cement (WOC) Waiting on cement atau waktu menunggu
pengerasan semen adalah
waktu yang dihitung saat menunggu pengerasan suspensi semen setelah semen selesai ditempatkan. seperti
tekanan
additives-additives
WOC
ditentukan
oleh
faktor-faktor
dan temperatur sumur, WCR, compressive strength dan yang dicampurkan ke dalam suspensi semen (seperti
accelerator atau retarder). WOC berdasarkan API adalah jika compressive strength mencapai 1000 psi (7 Mpa). 6. Permeabilitas Permeabilitas
diukur pada semen yang mengeras
dan bermakna
sama dengan permeabilitas pada batuan formasi yang berarti sebagai kemampuan untuk
mengalirkan
fluida.
Semakin
besar permeabilitas
semen maka semakin banyak fluida yang dapat melalui semen tersebut dan begitu pula sebaliknya. Semen diinginkan tidak mempunyai permeabilitas. Karena jika semen mempunyai
permeabilitas
besar akan menyebabkan
terjadinya
kontak
fluida antara formasi dengan annulus dan juga strength semen berkurang. Permeabilitas
semen dapat naik karena air yang dicampurkan dalam
bentuk bubur semen terlalu banyak. Tetapi permeabilitas semen dapat juga meningkat karena terlalu berlebihan dalam penambahan additives.
Perhitungan
permeabilitas
dengan menggunakan
semen di laboratorium
dapat dilakukan
“Cement Permeameter” dengan
menggunakan
sampel semen. Permeabilitas diukur dengan menggunakan laju alir air yang
melalui
sepanjang
luas permukaan sampel yang diberi perbedaan tekanan
sampel tersebut. Perhitungan
permeabilitas
dapat dilakukan
dengan menggunakan rumus darcy sebagai berikut : K
Q
L .............................................. (2-10) A P
dimana : K
: Permeabilitas,
mD. Q
: Laju alir,
ml/s.
: Viscositas, .
L
: Panjang sampel, cm.
A
: Luas permukaan sampel, cm2 .
P
: Perbedaan tekanan, psi.
Harga permeabilitas
maksimum yang direkomendasikan oleh API
adalah tidak lebih dari 0,1 mD. Permeabilitas semen erat kaitannya dengan kekuatan semen. Harga permeabilitas yang kecil akan menyebabkan harga strength yang besar begitupun sebaliknya.besar begitupun sebaliknya. 7. Compressive Strength & Shear Strength Strength pada semen terbagi menjadi dua yaitu compressive strength dan shear strength. Compressive strength didefinisikan sebagai kekuatan semen dalam menahan tekanan-tekanan yang berasal dari formasi maupun dari casing, sedangkan semen
shear strength didefinisikan
sebagai
kekuatan
dalam menahan berat casing. Jadi compressive strength menahan
tekanan-tekanan dalam arah horisontal
dan shear strength menahan
tekanan-tekanan pada arah vertikal. Compressive strength dipengaruhi oleh besarnya kandungan air dalam suspensi semen dan lamanya waktu pengkondisian (curing time). Dalam
mengukur
strength semen seringkali yang diukur adalah compressive
strength, sedang
shear strength kurang
compressive strength mempunyai
diperhatikan.
Umumnya
harga 8 – 10 kali lebih dari harga
shear strength. Pengujia n compressive strength di laboratorium dilakukan dengan menggunakan alat “Curing Chamber” dan water curing bath, untuk kemudian
diuji kekerasannya dengan menggunakan hydraulic chamber.
Curing chamber dapat mensimulasikan kondisi semen untuk tekanan dan temperatur
tinggi
sesuai dengan temperatur
Hydraulic chamber merupakan mesin pemecah mengeras
dalam
curing
dan tekanan formasi. semen
yang
chamber. Compressive strength
sudah
minimum
dirokemendasikan oleh API untuk dapat melanjutka n operasi pemboran adalah 500 psi. Sedang shear strength yang baik tidak kurang dari 100 psi, sehingga casing dapat terikat dengan kokoh. Dalam keadaan ini pemboran sudah dapat dilanjutkan.
Dari segi teknis, strength semen diharuskan
memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Kuat menahan selubung.
pipa
b. Mengisolasi permeabel.
zona-zona
c. Menahan
goncangan-goncangan
pemboran dan tidak pecah
karena perforasi. d. Mencegah terjadinya formasi.
kontak antara casing dengan fluida
Kapasitas daya dukung semen terhadap casing di dalam lubang bor, dinyatakan : F = 0,969 x Sc x d x H ........................................................ (2-11) dimana : F lb. Sc
: Daya dukung semen atau beban rekah, : Compressive strength, psi.
d
: Diameter luar casing, in.
H
: Tinggi kolom semen, ft.
2.4.6. Additif Penyemenan Bermacam-macam
semen
telah
dibuat
orang untuk
memenuhi
kebutuhan bermacam-macam kondisi sumur, seperti kedalaman, temperatur, tekanan dan ini dapat diubah-ubah densitas dan thickening time-nya dalam batas-batas tertentu dengan tambahan
adalah
memberikan
mengubah
kadar air. Additives atau zat-zat
material- material yang ditambahkan pada semen untuk
variasi yang lebih
luas pada sifat-sifat bubur semen agar
memenuhi persyaratan yang diinginkan. Additives ini penting sekali dalam perencanaan bubur semen karena digunakan untuk : 1. Mempercepat atau memperlambat thickening time. 2. Memperbesar strength. 3. Menaikkan atau menurunkan density bubur semen. 4. Menaikkan volume bubur semen. 5. Mencegah lost circulation. 6. Mengurangi fluid loss. 7. Menaikkan sifat tahan lama (durability). 8. Mencegah kontaminasi gas pada semen. 9. Menekan biaya. a. Accelelator Adalah additives yang digunakan
untuk
mempercepat
pengerasan
bubur semen. Penggunaan additives ini terutama untuk penyemenan pada temperatur dan tekanan rendah (sumur yang dibor masih dangkal) yang umumnya
juga karena jarak untuk mencapai target tidak terlalu panjang.
Selain itu juga mempercepat naiknya
strength semen dan mengimbangi
additives lain (seperti dispersant dan fluid loss control agent), agar tidak tertunda proses pengerasan suspensi semennya.
Contoh-contoh additives
yang berlaku sebagai accelerator yang umum digunakan adalah Calcium Chloride, Sodium Chloride, Gypsum, Sodium Silicate dan Sea Water.
Tabel 2.5. Accelerator untuk semen Klas A,B, C, G dan H
Amount Used (wt% of cement)
Accelerator Calcium chloride
2 to 4
(CaCl2 ) (flake, powdered, anhydrous)
3 to 10 *
Sodium chloride (salt - NaCl) Gypsum -
20 to 100
hemyhydrate form (plaster of Paris) Sodium silicate (Na2 SiO2 )
1 to 7.5
Cement dispersant (with
0.5 to 1.0
reduced
water) Sea water (as
-
mixing water) * Percent by weight water
of
b. Retarder Adalah additives yang digunakan
untuk memperpanjang
waktu
pengerasan. Hal ini biasanya dilakukan pada penyemenan sumur yang dalam, dimana temperaturnya tinggi. Additives yang berfungsi sebagai retarders antara lain : Lignosulfonate,
Organic
Acids,
Modified
Lignosulfonate, Carboxy Methyl Hydroxy Ethyl Cellulose. Tabel 2.6. Retarder
Material Used Lignin retarder 1.0% * Calcium lignosulfonate, organic acid
Usual Amount 0.1 to 0.1 to
2.5% * Carboxymethyl Hidroxythyl Cellulose (CMHEC)
0.1 to 1.5%
Saturated salt
14 to 16 lbm/sack of cement
Borax
0.1 to 0.5% *
* Percent by weight of water c. Extender Merupakan additives yang digunakan untuk membuat volume bubur semen menjadi lebih banyak dari setiap sak semenya, karena diperlukan penambahan air. Dengan demikian extenders berfungsi sebagai additives yang dapat mengurangi termasuk
atau menurunkan
extenders adalah
:
density bubur semen.
Bentonite-Attapulgite,
yang
Gilsonite,
Diatomaceous Earth, Perlite dan Pozzolans. Tabel 2.7. Extender
Mate rial
Amount Us e d
Bentonite Diatomaceous earth
2 to 16 wt% of cement 10, 20, 30 or 40 wt% of cement
Gilsonite
1 to 50 lb/sk of
cement Coal
5 to 50 lb/sk of
cement Expanded perlite
5 to 20 lb/sk of cement
Nitrogen Sodium silicate
0 to 70% 1 to 1.75 lb/sk of cement
d. Weighting agents Merupakan additives yang digunakan bubur semen dan biasanya digunakan
untuk
memperbesar
density
pada formasi yang bertekanan
tinggi yang berguna mengurangi kemungkinan terjadinya blow out. yang termasuk dalam additives ini adalah : Hematite, Limenite, Barite dan pasir. Tabel 2.8. Additif Penambah Berat Semen
Material
Amount Used (wt% of cement)
Hematite
4 to 104
Ilmenite (iron-titanium oxide
5 to 100
Barite
10 to 108
Sand
5 to 25
Salt
5 to 16
Cement with dispersant and reduced
0.05 to 1.75
water e. Dispersant Adalah
additives yang
berfungsi
untuk
mengurangi
viskositas
suspensi semen. Pengurangan viskositas atau friksi terjadi karena dispersant mempunya i kelakuan sebagai thinner (pengencer). Hal ini menyebabkan suspensi semen menjadi encer, sehingga dapat mengalir dengan aliran turbulensi walaupun dipompa dengan laju pemompaan yang rendah. Additives yang dapat digunakan adalah Organic Acids, Lignosulfonate, Plymers dan Sodium Chloride. Tabel 2.9. Dispersants
Amount Used
Type of Material
(lb/sack of cement)
Polymer : Blend
0.3 to 0.5
Long chain
0.5 to 1.5
Sodium chloride
1 to 16
Calcium lignosulfonate, organic acid (retarder and dispersant) f.
0.5 to 1.5
Fluid Loss Control Agents Fluid
loss
control
mencegah hilangnya
agent
fasa liquid
adalah
additives
yang
semen ke dalam formasi,
berfungsi sehingga
terjaga kandungan cairan pada suspensi semen. Additives yang termasuk ke dalam fluid Latex.
loss control agents diantaranya polymer, CMHEC dan
Tabel 2.10. Filtration Control Additives
Recommende Type and Fuction of Additives Organic polymer (cellulose) to
d Amount 0.5 to 1.5%
Types of
How
Cement
Handled
All API
Dry
classes
mixed
form micellers
Dry All API
mixed or
classes
with
improve praticle-size distribution
(densified
mixing
and form micelles in the filter cake
)
water
Organic polymers (dispersants) to
Carboxymethyl hydroyethyl cellulose
0.5 to 1.25%
0.3 to 1.0%
to form Micelles
Dry All API
mixed
classes
Dry mixed or
All API Latex additive to form films gal/sack
1.0
classes
with mixing water
Bentonite cement with dispersant to improve particle-size distribution
12 to 16% gel, 0.7 to 1.0% dispersant
API class A, G, or H
Batch mixed
g. Loss Circulation Control Agents Seperti halnya
dengan sirkulasi lumpur
pemboran pada sirkulasi
bubur semen pada penyemenan bisa juga terjadi kehilangan bubur semen. Sehingga di sini perlu ditambahkan
additives untuk menghindari hal
tersebut. Gilsonite dianggap material yang paling baik untuk itu, selain itu juga dapat berfungs i sebagai extenders. Lost Circulation Materials lainnya : Walnut Hulls, Cellophane Flakes dan Nylon Fibers.
Tabel 2.11. Additives Untuk Semen Loss Circulation
Type
Mate rial
Nature of Particle s
Amount Us e d
Wate r Re quire d
Additive s for Controlling Lost Circulation Gilsonite Granular
Lamellted Fibrous
Perlite
Graded
1 to 50 lbm/sack
Expanded
1/2 to 1 cuft/sack
Walnut shells
Graded
1 to 5 lbm/sack
Coal
Graded
1 to 10 lbm/sack
Cellophane Nylon
Flake
1/8 to 2 lbm/sack
Short-fibered 1/8 to 1/4 lbm/sack
2 gal / 50 lbm 4 gal/cuft 0.85 gal / 50 lbm 2 gal / 50 lbm None None
Formulation of Mate rial for Controlling Los t Circulation -
4.8 gal / 100
Gypsum cement
-
Gypsum / portland cement
-
5.0 gal / 100 10 to 20% gypsum lbm
Bentonite cement
-
12 to 16 10 to 25% gel Semisolid or gal/sack
flash setting
lbm
(the silicate is mixed Cement + sodium silicate
-
-
with water before adding cement)
Quick
Bentonite / diesel oil
-
-
-
109
h. Specially Additives Ada
bermacam-macam
sebagai specially
additives,
additives lainnya diantaranya
yang
adalah
dikelompokkan
silika,
mud
kill,
radioactive tracers, fibers, antifoam agent.
Mud Decontaminant Berfungsi sebagai additives yang menetralisir bubur semen terhadap zatzat kimia
dalam lumpur
paraformaldehyde. Mud kill
pemboran. Contoh mud kill adalah juga memberi
keuntungan
seperti
memperkuat ikatan semen dan memperbesar strength semen.
Radioactive Tracers Radioactive memudahkan
tracers ditambahkan
ke dalam suspensi semen supaya
operasi logging dalam menentukan
posisi semen dan
mengetahui kualitas ikatan semen.
Antifoam Agents Adanya foam (busa) dalam suspensi semen sering menyebabkan hilangnya tekanan ditambahkan
pemompaan,
maka
untuk
mencegahnya
antifoam agent. Polypropylene Glycol adalah contoh
antifoam agent yang sering digunakan,
karena selain
efektif juga
harganya murah. Tabel 2.12. Additif Spesial Untuk Semen
Additives
Recommended Quantity
Mud decontaminants Silica flour Radioactive tracers Dyes Hydrazine
1.0% * 30 to 40% * Variable 0.1 to 1.0% * 6 gal / 1.000 bbls
mud Fibers
0.125 to 0.5%
* Gypsum
4 to 10% *
* Percent by weight of cement
110
2.5.
Masalah-masalah Pemboran Terjadinya
permasalahan-permasalahan
pada operasi
pemboran
tidaklah jarang terjadi. Permasalahan-permasalahan tersebut biasanya disebabkan oleh gangguan
terhadap tegangan
tanah (earth stress) di sekitar lubang
bor yang disebabkan pembuatan lubang itu sendiri dan adanya kontaminasi antara lumpur dengan formasi yang ditembus. Permasalahan-permasalahan pemboran itu antara lain problem shale, hilang lumpur, pipa terjepit dan well kick. 2.5.1. Shale Problem Shale adalah serpih batuan sedimen yang terbentuk oleh deposisi dan kompaksi sedimen untuk jangka waktu yang sangat lama. Komposisi dari serpih adalah lempung, lanau, air dan sejumlah kecil quartz dan feldspar. Pada pemboran, apabila menembus
formasi yang tidak kompak maka dapat
mengakibatkan formasi tersebut runtuh dan masuk ke dalam lubang bor. Gejala yang timbul yang sering tampak bila sedang mengalami masalah shale adalah: 1. Tekanan pompa naik. 2. Serbuk bor bertambah. 3. Air filtrasi bertambah banyak 4. Ada banyak endapan serbuk bor di dalam lubang bor. 5. Terjadi gumpalan pada pahat (bit bailing). 6. Terjadi perubahan sifat-sifat lumpur, antara lain : berat lumpur bertambah, viscositas lumpur naik, dan bertambahnya air tapisan. 2.5.1.1.Jenis-Jenis Shale Dalam bentuknya yang lunak, biasanya disebut clay, bila makin dalam, maka karena tekanan dan temperatur yang tinggi endapan ini akan mengala mi perubahan bentuk (consolidation), dan disebut sebagai shale, karena perubahan bentuk proses metamorfosis disebut slate, phylite atau mica schist. Adapun jenis - jenis shale adalah sebagai berikut : 1. Pressured Shale
Lapisan shale yang mengandung lensa pasir, mempunyai tekanan gas yang tinggi. Lapisan ini bila dibor dengan lumpur yang tekanan hidrostatisnya lebih
kecil dari tekanan formasi,
maka akan terjadi longsoran
(sloughing)
dan runtuhan (caving). 2. Bentonic Shale Shale
jenis
ini
mengandung
colloidal
clay
yang
kemampuan
hidrasinya menyerupai bentonite. Hidrasi ini akan menyebabkan bentonic shale memuai ke dalam lubang bor, sehingga menimbulkan bagian yang sempit (tight spot). 3. Fractured Brittle Shale Shale jenis ini sangat rapuh, serta mempunyai
rekahan (fracture) yang
miring. Lapisan ini mudah runtuh ke dalam lubang bor. 2.5.1.2.Sebab-Sebab Terjadinya Shale Problem Penyebab masalah
shale ini dapat dikelompokan
dari segi lumpur
maupun dari segi drilling practice atau mekanis. Beberapa penyebab dari kelompok mekanis antara lain : 1. Erosi, karena kecepatan lumpur di annulus yang terlalu tinggi. 2. Gesekan pipa bor terhadap dinding lubang bor. 3. Adanya penekanan (pressure surge) atau penyedotan (swabbing) pada waktu cabut dan masuk pahat (tripping). 4. Adanya tekanan dari dalam formasi. 5. Adanya air filtrasi atau lumpur yang masuk ke dalam formasi. Kecenderungan lapisan shale untuk runtuh tergantung pada beberapa faktor, antara lain : 1. Kadar clay dalam lapisan shale cukup tinggi (clay mudah mengembang bila kena air tapisan). 2. Kemiringan lapisan shale, semakin besar kemiringannya maka cenderung untuk runtuh pula.
semakin
besar
3. Tekanan kompaksi shale, dimana tekanan kompaksi shale lebih besar dari tekanan hidrostatik lumpur pemboran. 4. Pola aliran turbulen di annulus dapat membantu mengerosi lapisan shale.
Reaksi clay pada cairan terutama tergantung dari jenis clay, ion-ion yang ada dan keadaan fisik
yang bersangkutan.
Karena clay merupakan
material yang reaktif, maka ion-ion yang ditambahkan pada reaksi kimia clay dan air sangat berpengaruh terhadap sifat reaktifnya. Ion yang berubah dapat berupa ion positif maupun negatif. 2.5.1.3.Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Shale Problem Problem shale yang terjadi biasanya dipengaruhi
oleh beberapa
faktor, faktor tersebut dapat dibagi menjadi tiga bagian : 1. Faktor Mekanis Faktor-faktor mekanis
yang mempengaruhi
terjadinya
problem shale
sebagian besar diakibatkan oleh pengaruh erosi yang disebabkan oleh aliran
lumpur pemboran di annulus.
Pengaruh
mekanis
yang lain
adalah pecah/rusaknya serpih yang diakibatkan oleh adanya penekanan (pressure surge)
atau penyedotan (swbbing) pada saat masuk dan cabut
pahat (tripping), dan caving yang diakibatkan oleh pergerakan horizontal lapisan serpih. 2. Faktor Hidrasi Selama sedimentasi, lapisan serpih terkompaksi oleh berat overbuden. Gaya kompaksi ini akan mengeluarkan banyak air yang terserap dan air dari dalam pori batuan serpih. Pemboran lapisan serpih melepaskan gaya kompaksi pada sekitar lubang bor dan sebagai hasilnya akan timbul gaya hidrasi serpih. Hidrasi dapat terjadi jika salinitas air formasi lebih besar daripada salinitas
lumpur pemboran, proses ini dapat menghasilkan gaya
adsorbsi maupun desorbsi. Gaya adsorbsi formasi
pada lapisan
serpih
lebih
timbul
jika
salinitas
air
besar daripada salinitas lumpur
pemboran dan demikian sebaliknya. Adsorbsi air oleh serpih biasanya akan menghasilkan dispersi dan swelling. Dispersi terjadi jika serpih bagi
terbagi-
menjadi partikel-partikel kecil dan masuk ke lumpur pemboran
sebagai padatan (solids). Swelling terjadi akibat peningkatan ukuran dari mineral silika yang menyusun struktur lempung dan jika tekanan swelling
yang timbul ini meningkatkan hoop stress disekitar lubang bor menjadi lebih
besar daripada yield strength serpih, maka destabilisasi lubang bor akan terjadi. Destabilisasi lubang bor ini bentuknya adalah caving. 3. Faktor-faktor selain mekanis dan hidrasi Shale problem telah dihubungkan mempercepat runtuhnya yang miring
serpih ke dalam lubang bor. Lapisan serpih
terbukti lebih mempunyai
dibandingka n lapisan atau
normal.
kecenderungan
serpih horizontal.
geopressure, kandungan
dengan
dengan berbagai macam faktor yang untuk runtuh
Pada serpih yang abnormal
air batuan
lebih
tinggi
Sebagai tambahan, plastisitas
dibandingkan
serpih menjadi tidak
normal (tinggi) sebanding dengan berat overburden. Oleh karena itu, jika pemboran menembus
lapisan
serpih yang abnormal,
serpih ini akan
masuk ke dalam lubang sebagai akibat adanya perbedaan antara tekanan formasi dan tekanan hidrostatik lumpur. 2.5.1.4.Penanggulangan Shale Problem Pada Pemboran Konvensional Penggunaan terjadinya sloughing
oil based mud telah dibuktikan shale,
karena
fasa
minyak
berhasil mengurangi memberikan
adanya
membran di sekitar lubang yang mencegah adanya kontak antara air dan serpih.
Sedangkan
konsentrasi
fasa air dapat
garamnya
sesuai
mempersiapkan dengan lapisan
sedemikian yang
ditembus.
hingga Cara
pencegahan yang lain adalah dengan meminima lka n waktu dibiarkannya lubang
yang mengandung
serpih dalam keadaan tidak dicasing. Sudut
kemiringan lubang harus dikurangi (diusahakan lurus) dan swab serta surge effect harus dikurangi untuk menghindari terjadinya rekahan pada bagian lubang terbuka. Kecepatan fluida yang tinggi di annulus harus dihindari untuk mengura ngi terjadinya erosi lubang dan sloughing shale secara mekanis. 2.5.2. Pipa Terjepit (Pipe Stuck) Pipa terjepit adalah keadaan dimana bagian dari pipa bor atau setang bor (drill collar) terjepit (stuck) di dalam lubang bor. Penyebab terjepitnya
rangkaian pipa bor pada sumur pemboran adalah karena adanya differential sticking maupun
mechanical sticking, jika hal ini terjadi, maka gerakan pipa akan terhambat dan pada gilirannya dapat mengganggu kelancaran operasi. 2.5.2.1.Jenis – Jenis Pipa Terjepit Masalah pipa terjepit ini biasanya diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Differential Pipe Sticking Jenis jepitan ini terjadi oleh karena beberapa faktor. Faktor-faktor yang menyebabkan differential pipe sticking adalah beda tekanan hidrostatik dari kolom lumpur
melebihi tekanan dari formasi yang permeable dan
penambahan luas kontak antara rangkaian pipa dasar lubang bor dengan dinding lubang.
Gambar 2.26. Differential Pipe Sticking
2. Mechanical Sticking (Jepitan Mekanis) Pipa dapat terjepit secara mekanis bila : 1. Keratan bor atau formasi yang mengalami sloughing annulus
menyumbat
disekitar rangkaian bor. 2. Rangkaian bor diturunkan terlalu cepat sehingga menghantam bridge atau tight spot atau dasar lubang. 3. Ditarik masuk ke dalam lubang kunci (key seat).
3. Key Seating Selama
pemboran,
tension (tertarik)
drill
pipe selalu
dijaga
dan pada saat memasuki
berada dalam keadaan
bagian dog leg, drill pipe
berusaha untuk menjadi lurus, sehingga menimbulkan gaya lateral seperti ditunjukkan pada Gambar 3.70. Gaya lateral ini mengakibatkan sambungan drill pipe (tool t) menggerus formasi yang berada pada busur dog leg, dan menimbulkan
lubang baru sebagai akibat diputarnya
rangkaian
pemboran. Lubang ini disebut sebagai “Key Seat”. Key-set ini hanya dapat terbentuk jika formasi yang ditembus lunak dan berat yang
tergantung
dibawah dog leg cukup besar untuk menimbulka n gaya lateral.
Gambar 2.27. Perkembangan Key Seat
2.5.2.2.Pencegahan Problem Pipa Terjepit Differential sticking biasanya terjadi tanpa gejala sebelum jepitan, sehingga perlu diusahakan tindakan pencegahan yaitu dengan : 1.
Mengurangi
berbedaan tekanan,
hal ini
berarti membor
dengan
overbalance pressure yang minimum sekedar untuk mengimbangi tekanan formasi dan memungkinkan terjadinya efek surge dan swab. 2.
Mengurangi daerah kontak, karena ketebalan formasi berpori tidak dapat diubah secara fisik,
maka daerah kontak hanya bisa dikurangi dengan
mengura ngi ketebalan mud cake.
3.
Karena luas daerah kontak dan faktor gesekan berbanding lurus dengan waktu, semakin jarang atau sedikit rangkaian bor berada dalam keadaan statis
(diam) akan semakin
mengurangi
kemungkinan
terjadinya
differential sticking. 4.
Minyak
dan walnut bulls dapat digunakan
untuk mengurangi
faktor
gesekan pada saat membor formasi yang berpotensi mengalami differential sticking. Sedangkan untuk mencegah terjadinya mechanical pipe sticking, tight spot harus direaming sebelum melakukan pemboran bagian (section) lubang yang baru. Untuk menghindari terjadinya key seat dapat dilakukan dengan mencegah lubang membentuk
dog leg (pembelokan
mendadak).
Untuk
sumur yang miring maka disarankan pembelokan maksimumnya 3 O/100 ft dan KOP dipilih pada lapisan yang keras. Ada beberapa teori yang menerangkan penyebab deviasi lubang bor seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3.70., yaitu : 1. Anisotropic Formation Theory Pemboran pada formasi dengan perlapisan seragam, bit akan mengarah pada arah resultan gaya - gaya yang bekerja pada bit, sedangkan untuk formasi yang mempunyai tingkat kekerasan tidak sama maka kesanggupan bit untuk ke arah yang tegak lurus atau mendatar pada bidang perlapisan adalah berbeda. Hal ini menyebabkan bit tidak lagi searah gaya resultan, sehingga menyebabkan deviasi lubang. 2. Formation Drillability Theory Pada formasi dengan perlapisan yang berganti - ganti dari keras ke lunak atau sebaliknya,
kecepatan pengeboran akan berbeda dan menyebabkan
beban bit ditahan tidak merata pada kedua sisinya.
Perubahan up-dip
apabila mengebor dari formasi keras ke lunak dan down-dip apabila mengebor dari formasi lunak ke keras. 3. Miniatur Whipstock Theory Formasi dengan perlapisan yang miring, maka lubang bor cenderung akan tegak lurus dengan bidang perlapisan.
4. Drill Collar Moment Theory Bila mengebor dari formasi keras ke lunak, WOB tidak terdistribusi secara merata didasar lubang, menerima
dimana
batuan yang lebih
beban yang lebih besar sehingga
Moment ini akan merubah panjang
besar akan
terjadi moment
pendulum
ke titik
pada bit. tangensial.
Akibatnya gaya sisi (side force) tidak sama besar terjadi pada bit dan akan menyebabkan deviasi lubang bor. 5. Formasi dengan Kemiringan Besar Formasi dengan kemiringan
bidang perlapisan
> 40 O, maka bit akan
cenderung untuk mengikuti bidang perlapisan. 6. Adanya Gua atau Rekahan Adanya gua atau rekahan dapat menyebabkan bit mengikuti arah yang lebih mudah unutk ditembus. Sementara
pengaruh
gaya mekanis
(lebih
bersifat
operasional)
dapat disebabkan karena drill colar yang kurang kaku sehingga melengk u ng, beban (WOB) yang berlebihan sehingga melengkung, dan pengaruh perubahan BHA.
mudah
drill pipe mudah
Gambar 2.28. Pengaruh Formasi Pada Deviasi Lubang
2.5.2.3.Penanggulangan Problem Pipa Terjepit Walaupun sudah dicegah seperti cara-cara diatas, tetapi rangkaian pipa bor tetap
terjepit,
maka
ada beberapa metode
yang
dapat digunakan
untuk membebaskan rangkaian pipa yang terjepit tersebut. Beberapa metode yang umum digunakan adalah sebagai berikut :
a. Pengurangan tekanan hidrostatik Metode yang biasanya dilakukan
untuk mengurangi tekanan hidrostatik
lumpur adalah pipa-U (U-Tube). Tekanan hidrostatik dengan cara memompakan lumpur rendah,
atau dengan memompakan
mempunyai annulus
baru dengan densitas yang lebih sejumlah
kecil
specific gravity (SG) rendah.Rangkaian
antara rangkaian
dapat dikurangi fluida
yang
pipa bor dengan
dan formasi dianggap sebagai pipa U, dengan
bit sebagai penghubung, sebagaimana digambarkan pada Gambar 2.29.
Gambar 2.29. Konfigurasi Pipa U Sumur
b. Perendaman dengan fluida organik Fluida
organik
biasanya
disemprotkan
sepanjang
daerah
jepitan
untuk mengurangi ketebalan mud cake dan faktor gesekan. Campuran antara minyak solar dan surfactant adalah fluida yang banyak digunakan karena kemampuannya untuk membasahi sekeliling pipa yang terjepit dan karena itu menciptakan
lapisan
menurunka n koefisien
tipis
antara pipa dan mud cake. Hal ini
gesek, dan pada akhirnya
akan meningkatkan
efektivitas usaha-usaha mekanis untuk membebaskan pipa.
Metode yang biasanya terjepit secara mekanis
dilakukan
adalah
dengan
untuk usaha
membebaskan
pipa yang
menggerakkan
pipa baik
diputar maupun ditarik atau dengan mengaktifkan jar, apabila rangkaian pipa dilengkapi dengan jar. Jika metode ini gagal, biasanya disemprotkan fluida organik
dan kemudian prosedur yang telah disebutkan tadi diulangi. Jika
usaha tersebut belum berhasil, maka pipa haru dilepaskan dengan cara back off. Operasi back-off Bila tidak ada metode seperti di atas yang berhasil membebaskan pipa yang terjepit, maka operasi back-off adalah pilihan terakhir yang dilakukan. Operasi back-off mencakup pelepasan bagian pipa yang masih bebas dari dalam lubang. Hal ini secara efektif berarti melepaskan rangkaian pemboran pada atau di atas daerah jepitan
dan pengangkatan
bagian pipa yang
masih bebas dari dala m lubang. Untuk mengatasi key seat, lubang harus di-reaming dan jika digunakan jar, maka dilakukan jar up (ke atas). Fluida organik dapat disemprotkan untuk mengurangi dilakukannya
gesekan
sekitar
key seat sehingga
usaha untuk menggerakkan
memungkinkan
pipa. Key seat ini dapat dicegah
dengan membor lubang lurus atau menghindari perubahan mendadak sudut kemiringan atau sudut arah lubang pada sumur berarah. 2.5.3. Hilang Lumpur (Lost Circulation) Hilang lumpur adalah peristiwa hilangnya lumpur pemboran masuk ke dalam formasi. Hilang lumpur tejadi karena dua faktor, yakni : faktor mekanis dan faktor formasi. 2.5.3.1.Sebab-Sebab Lost Circulation 1. Faktor Mekanis Hilang lumpur
terjadi jika tekanan hidrostatik
lumpur naik hingga
melebihi tekanan rekah formasi, yang akan mengakibatkan adanya crack (rekahan) yang memungkinkan lumpur (fluida) mengalir ke dalamnya. Pada lubang
bagian permukaan,
dapat menyebabkan washout
hilang
lumpur
atau hilang
sirkulasi
yang besar, yang dapat menyebabkan menjadi ambles.
Laju
penembusan
rig pemboran yang digunakan yang
tinggi
akan menghasilkan
keratan bor yang banyak dan bila tidak terangkat dengan cepat akan menyebabkan
kenaikan densitas lumpur
yang pada akhirnya akan
menaikkan tekanan hidrostatik.. Oleh karena itu, diperlukan pengamatan sifat-sifat lumpur pemboran yang teliti untuk mendeteksi adanya kenaikan densitas lumpur yang tiba-tiba. Hilang lumpur
juga terjadi sebagai akibat kenaikan tiba-tiba dari
tekanan hidrostatik lumpur yang disebabkan kenaikan berat lumpur yang mendadak atau gerakan kasus hilang
pipa.
Pada lubang
intermediate, kebanyakan
lumpur disebabkan karena memasuk i zona deplesi dimana
tekanan reservoirnya lebih kecil daripada formasi diatasnya,
kenaikan
tiba-tiba dari tekanan hidrostatik lumpur sebagai akibat surging effect dapat merekahkan formasi yang lemah dan akan menyebabkan terjadinya hilang sirkulasi. 2. Faktor Formasi Dilihat dari segi formasinya, maka hilang lumpur dapat disebabkan oleh: a. Coarseley Formation
Permeable
Contoh dari jenis formasi ini adalah pasir dan gravel. Namun tidak semua jenis formasi ini menyerap lumpur. Untuk dapat menyerap lumpur perlu keadaan, antara lain tekanan hidrostatis lumpur harus lebih besar daripada tekanan formasi, disamping ada pengertian
bahwa lumpur
formasi harus permeabel, mampu masuk ke dalam
formasi bila diameter lubang atau pori-pori sedikitnya tiga kali lebih besar dari diameter butiran atau partikel padat dari lumpur. b. Formation Hilang
Cavernous lumpur
ke dalam
reef,
gravel
ataupun
formasi
yang
mengandung banyak gua-gua sudah dapat diduga sebelumnya. Gua-
gua
ini
dolomite).
banyak terdapat pada formasi batu kapur (limestone
dan
c. Fissures, Faults
Fracture,
Ini merupakan celah-celah atau rekahan dalam formasi.
Bila hilang
lumpur tidak terjadi pada formasi permeabel ataupun batuan kapur, biasanya ini terjadi karena celah-celah atau retakan tersebut. Fracture ini dapat terjadi alamiah tetapi dapat juga terjadi karena sebab-sebab mekanis
(induced fractures). Hal ini dapat terjadi misalnya karena
penekanan (pressure surge) pada waktu masuk pahat, ataupun kenaikan tekanan karena drilling practice yang tidak benar, misalnya
tekanan
pompa yang terlalu tinggi, lumpur terlalu kental, gel strength terlalu besar. Dapat juga karena perlakuan yang kurang menjalankan
pompa secara mengejut,
sesuai,
misalnya
tekanan pompa yang terlalu
tinggi, lumpur terlalu kental, gel strength terlalu besar. 2.5.3.2.Penentuan Letak Lost Circulation Biasanya
jika terjadi hilang
lumpur
selama
dilakukan
operasi
pemboran, lost ciculation material (LCM) akan disemprotkan sepanjang zona yang diduga menjadi tempat hilang lumpur untuk mengatasinya. Akan tetapi, pada kasus Lost Circulation yang parah, penentuan letak zone hilang lumpur (thief) harus ditentukan agar cara mengatasinya lebih efektif. Ada beberapa metode yang telah terbukti berhasil digunakan dalam hal ini antara lain: 1. Temperature Survey Alat perekam suhu diturunkan
ke dalam lubang
dengan menggunakan
wireline untuk memberikan data suhu pada kedalaman tertentu. Pada kondisi
normal, kenaikan temperatur akan berbanding lurus dengan
kenaikan kedalaman. Sebelumnya akan didapatkan base log (log dasar). Kemudian lumpur dingin dipompakan menyebabkan
peralatan
ke dalam
lubang
dan akan
survey merekam temperatur yang lebih rendah
daripada sebelumnya, sampai pada “thief” dimana terjadi hilang lumpur. Log suhu yang baru akan menunjukka n anomali sepanjang “thef” dan letak zone ini dapat ditentukan
dari pembacaan kedalaman dimana terjadi
perubahan garis pada gradiennya.
Gambar 2.30. Prinsip Temperatur Survey
2. Radioactive Tracer Survey Pertama
kali
gamma
radioaktivitas formasi
ray
log
normal
dijalankan
untuk
dan bertindak
mendapatkan
sebagai dasar untuk
perbandingan. Kemudian sejumlah kecil bahan radioactive dimasukkan ke dalam lubang
disekitar daerah dimana kemungkinan
Gamma Ray Log yang kedua kemudian dijalankan dengan log dasar (gamma
terdapat “thief". dan dibandingkan
ray pertama). Titik (kedalaman) terjadinya
hilang lumpur ditunjukan dengan penurunan radioaktivitas log kedua yang disebabkan karena bahan radioaktif yang kedua hilang (masuk) ke formasi. 3. Spinner Survey Kumparan yang dipasang pada ujung kabel diturunkan ke dalam lubang untuk menentukan kemungkinan letak zone hilang lumpur. Kumparan ini
akan berputar
kemungkinan
karena
adanya
gerakan
vertikal
lumpur
yang
terjadi karena di dekat “thief”. Kecepatan rotor direkam
dalam sebuah film
sebagai rangkaian
titik
dan spasi.
Metode ini
terbukti tidak efektif jika digunakan sejumlah besar LCM dalam lumpur.
2.5.3.3.Klasifikasi Zona Lost Circulation Zona Lost Circulation dapat diklasifikasikan
menjadi : Seepage
Loss, Partial Loss, Complete Loss. 1. Seepage Loss Seepage loss adalah apabila hilang lumpur dalam jumlah relatif kecil, kurang dari 15 bbl/jam (40 lpm) dapat terjadi pada setiap jenis formasi yang terdiri dari pasir porous dan gravel, rekah alami (natural fracture) dan pada formasi yang terdapat rekahan (batu gamping) serta induced fracture (rekah bukan secara alami). 2. Partial Loss Partial loss adalah hilang lumpur dalam jumlah yang relatif besar, lebih besar dari 15 bbl/jam atau sekitar 15 – 500 bbl/jam (40 – 1325 lpm). Dapat terjadi umumnya pada jenis formasi yang terdiri dari pasir porous dan gravel, serta kadang-kadang terjadi pada batuan yang mengandung rekahan (natural fracture dan fracture induced). 3. Complete Loss Complete loss adalah lumpur tidak keluar kembali dari lubang bor. Dapat terjadi pada formasi batupasir gravel, rekah secara alami (natural fracture) dan pada formasi yang banyak terjadi rekahan. 2.5.3.4. Pencegahan Lost Circulation Pengamatan
menunjukkan
bahwa sekitar 50% dari hilang
lumpur
terjadi karena induced fracture. Dalam hal ini hilang lumpur dapat terjadi di mana-mana. Dengan demikian pencegahan lebih murah daripada mengatasi hilangnya lumpur bila sudah terjadi. Hal yang perlu diingat untuk pencegahan antara lain : 1. Berat lumpur Berat lumpur perlu dijaga agar tetap minimum, agar mampu mengimba ngi tekanan
formasi.
mengakibatka n
Serbuk
bor
yang
ada
di
annulus
juga
penambahan
berat lumpur.
Jadi pembersihan
lubang
bor memegang
peranan penting. 2. Viscosity dan gel strength Gel strength juga dijaga agar tetap kecil.
Gel strength
yang besar
memerluka n tenaga yang besar pula untuk memecah gel tersebut, yang dapat mengakibatka n pecahnya formasi. Disarankan agar meja putar digerakkan dulu sebelum menjalankan pompa, dan menjalankan pompa jangan mengejut. 3.
Pada waktu masuk pahat, agar dihindari terjadinya “pressure surge” untuk mencegah pecahnya formasi. Juga pada saat mencabut pahat agar dihindar i terjadinya swab.
4.
Agar dipakai lumpur
yang baik, stabil.
Hal ini dapat mengurangi
pengaruh negatif lumpur, seperti caving, sloughing, bridging.
5. Bila diperkirakan akan terjadi hilang lumpur, lumpur dapat ditambah dulu dengan bahan penyumbat (Lost Circulating Material, LCM) yang lembut, misalnya 5 lbs/bbl walnut shells, mica. Bahan penyumbat yang lembut ini dapat disirkulasikan dengan lumpur dan dapat lewat mud screen.
6. Pemakaian casing protector dapat menambah pressure loss di annulus, jadi menambah tekanan pada dasar lubang bor (Dynamic BHP). Jadi agar diperiksa bahwa casing protector dalam keadaan baik. 2.5.3.5.Penanggulangan Lost Circulation Cara menanggulangi
hilang lumpur
ini sangat berbeda antar satu
dengan yang lain, tergantung dari sebab-sebab, sifat-sifat formasi dan lain sebagainya. Hilang lumpur dapat ditanggulangi dengan du acara, yaitu:
1. Teknik Penyumbatan Dalam
menghadapi
bahan penyumbat.
hilang
Dimana
lumpur
(lost
circulation)
bahan penyumbat
ini
dapat terdiri
dipakai dari lost
circulation material (LCM) serta bahan - bahan khusus. Lost circulation material dapat dibagi dalam 3 jenis, yaitu : a. Material fibrous, terdiri leather
dari kapas kasar, serat rami,
serat kayu,
flock, fiber seal dan chip seal. Material jenis ini umumnya sedikit kaku dan cenderung memaksa masuk ke dalam rekahan yang besar. Jika lumpur mengandung konsentrasi yang cukup tinggi dari material fibrous, kemudian dipompakan masuk ke dalam lubang bor, maka timbul tahanan gesekan yang cukup besar akan berkembang dan berfungsi sebagai penyumbat aliran. b.
Material flakes, terdiri dari mika (halus dan kasar), vermicullite dan kwik seal (kombinasi serabut dan keping - kepingan). disirkulas ika n ke dalam lubang dimuka
formasi,
Material ini apabila
bor akan terletak
melintang
lurus
dan selanjutnya akan menutup rekahan yang ada. Jika
cukup kuat dalam menahan tekanan kolom lumpur, maka material ini akan membentuk filter cake yang luas dan kompak, tetapi apabila tidak cukup kuat menahan tekanan kolom lumpur, maka material ini akan terdorong masuk ke dalam formasi.
c.
Material granular terdiri dari nut shells, nut plug, tuff plug, kulit kelapa sawit dan lain sebagainya. disumbat
oleh material
Besarnya ukuran dari rekahan yang dapat jenis
granular
adalah
lebih
besar jika
dibandingkan dari jenis lost circulation material lainnya. Perlu diketahui bahwa
dalam
penggunaan
dikombinasikan sedang dan kasar).
lost circulation material (LCM) ini dapat
dari berbagai jenis dan ukurannya
(dari yang lembut,
Teknik penyumbatan dengan menggunakan lost circulation material ini dapat digunakan untuk semua jenis zona lost, terutama untuk seepage lost, partial lost dan complete lost. Keuntungan menggunakan lost
dari penyumbatan
dengan
circulation material dapat membentuk
lebih banyak permanen brigde di
dalam formasi yang rekah dan material penyumbat tidak mudah tererosi oleh adanya pergerakan fluida dan pipa di dalam lubang bor.
Gambar 2.31. Pengaruh Konsentrasi LCM Terhadap Besarnya Penyumbatan Rekahan
a. Teknik Penyumbatan Lost
Seepage
Seepage lost adalah bila hilang lumpur dalam jumlah yang relatif kecil, kurang dari 15 bbl/jam. Usaha-usaha yang dapat dilakukan : 1.
Pengeboran dilanjutkan
terus, dengan mengurangi
densitas agar
supaya serbuk bor dapat menyumbat pori - pori di tempat hilangnya lumpur. 2. Apabila diperlukan dapat ditambahkan bahan penyumbat yang halus sekitar 5 lbs/bbl lumpur melalui mud screen. 3.
Apabila belum berhasil, bit diangkat sampai pada casing shoe, lalu ditunggu walaupun sirkulasi dihentikan sementara, dengan harapan serbuk bor dapat menyumbat.
4. Selama melakukan kegiatan tersebut agar berhati-hati terhadap pengaruh pressure surge dan mengurangi tekanan pompa yang terlalu besar.
b. Teknik Penyumbatan Partial Lost Apabila terjadi partial lost, yaitu hilang lumpur yang relatif besar (lebih dari 15 bbl/jam). Maka usaha-usaha yang dapat dilakukan adalah : 1. Mengurangi
berat lumpur,
tekanan pompa dan menunggu
periode pengeboran selanjutnya. 2. Dapat dilakukan dengan menambahkan bahan penyumbat, metode
dengan
“Batch method”. Kita siapkan bahan penyumbat dari berbagai macam jenis serta ukuran, kira - kira sebanyak 25 - 35 lb/bbl dan menyiapkan lumpur khusus untuk membawa bahan - bahan tersebut sebanyak 200 bbl dan disirkulasikan. Apabila hilang lumpur semakin banyak, maka jumlah
dan ukuran
Pemompaan
bahan
bahan
penyumbat
dapat
ditambahkan.
itu dilakukan ketika bahan penyumbat sampai
disekitar bit. Jika tidak berhasil dengan menggunakan
metoda batch
ini, maka dapat diulangi sampai sirkulasi kembali normal. c. Teknik Penyumbatan Complete Lost Apabila
terjadi complete lost berarti terjadi pengurangan
tekanan
hidrostatik dari lumpur, maka hal ini akan bisa berbahaya untuk proses pengeboran selanjutnya. menambahkan
sejumlah
Usaha
yang
dapat kita lakukan
air pada lubang
annulus,
dengan
tapi juga harus
diperhitungkan volume dari kolom air di lubang bor, tekanan hidrostatik lumpur serta kondisi densitas maksimum yang dapat ditahan oleh formasi tersebut dalam keadaan statis. Pada keadaan ini sebaiknya pipa bor tetap berputar untuk
menghindari
agar pipa tidak terjepit. Berat
lumpur
maksimum juga perlu diperhitungkan dengan menggunaka n persamaan berikut :
dimana :
(D H) x Wlump ur h x Wmax Wair D
.......................... (2-11)
Wmax = berat lumpur maksimum yang dapat ditahan dalam keadaan statis, lbs/gal.
Wmud = berat lumpur semula, lbs/gal.
D ft.
= kedalaman sumur,
H ft.
= tinggi kolom cairan,
Bila keadaan memungkinkan maka densitas lumpur dapat diturunkan di bawah Wmax
, maka
memperbaik i lumpur
pengeboran
dapat dilanjutkan
serta ditambahkan
dengan
bahan penyumbat
yang
halus. Jika densitas lumpur tidak dapat diturunkan maka lubang bor disumbat terlebih dahulu sebelum pemboran dilanjutkan lagi.
Gambar 2.32. Pengisian Rekahan Dengan LCM
d. Bahan - bahan Khusus Dalam menanggulangi bahan - bahan khusus,
hilang
lumpur
ini dapat pula kita gunakan
antara lain adalah high fliter lost slurry,
bentonite diesel oil slurry dan bentonite diesel oil cement slurry serta semen. Adapun penggunaan
bahan - bahan ini
untuk
mengatasi
semua jenis zona lost, terutama untuk partial lost dan complete lost. Untuk partial lost, apabila tidak dapat diatasi dengan menggunakan lost
circulation material, maka dapat diatasi dengan memakai high
filter lost slurry.
2. Teknik Penyemenan Apabila pencegahan problem hilang lumpur ternyata tidak berhasil maka untuk mengatasinya
dapat kita lakukan dengan penyemenan.
penyemenan ini dapat dikerjakan disemua problem hilang lumpur dengan
penyemenan
Program
zona lost. Cara mengatasi menggunakan
prinsip
keseimbangan kolom fluida, caranya adalah sebagai berikut : a. Mengangkat levelnya. b.
bit dan mengukur
statik mud
Menempatkan cementing sub pada drill pipe (DP) dan memilih jenis slurry cement yang sesuai dengan zona lost.
c. Menentukan lumpur. d.
tempat hilang
Memasukkan drill pipe dan cementing sub ke dalam lubang bor dimana cementing sub terletak kira - kira 50 ft di atas zona lost, dan memompakan cement slurry.
2.5.4. Well Kick dan Semburan Liar Semburan liar atau “Blow Out” ini adalah peristiwa mengalirnya fluida formasi
dari dalam sumur
secara tidak terkendali.
Kejadian ini
dimulai dengan masuknya sedikit gas dari formasi ke dalam lubang bor, yang biasanya disebut well kick. Bila well kick tidak bisa diatasi secara baik maka dapat terjadi semburan liar. 2.5.4.1.Sebab-Sebab Terjadinya Well Kick Sebab- sebab terjadinya tekanan hidrostatik
kick,
secara garis
besar adalah
bila
lumpur lebih kecil daripada tekanan formasi. Adapun
sebab-sebab tekanan hidrostaik
lumpur
tidak dapat mengimbangi
tekanan
formasi adalah : 1. Berat jenis Lumpur pemboran turun. Dalam hal ini tekanan hidrotatis lumpur lebih kecil daripada tekanan formasi. Ph = 0.052 x D x w .................................................... (2-12) dimana: Ph psi. D ft.
= tekanan hidrotatis lumpur, = kedalaman lubang bor,
w
= berat lumpur, lbs/gal.
Berat jenis lumpur
turun diakibatakan bercampurnya
fluida formasi
dengan lumpur bor. Masuknya fluida formasi ke dalam lubang bor akan menyebabkan berat lumpur turun. Masuknya fluida lumpur pemboran dapat disebabkan karena: a.
Swabbing effect, terjadi apabila pencabutan pemboran terlalu
rangkaian
peralatan
cepat. Ruang dibawah pahat yang ditinggalkan
oleh drill string menjadi kosong dan fluida formasi akan terhisap ke dalam lubang sumur. Ditambah lagi dengan viscositas lumpur yang besar (lumpur kental), maka gerakan lumpur yang ada di atas pahat terlambat mengisi ruangan di bawah pahat. Akibat masuknya formasi
ke dalam lubang
dan bercampur dengan
fluida
lumpur
bor,
menyebabkan berat jenis lumpur akan turun hal ini dapat menurunkan tekanan hidrostatik lumpur bor. b. Menembus formasi gas, pada waktu menembus formasi gas, cutting yang dihasilkan
mengandung
gas,
walaupun
pada mulanya
tekanan
hidrostatik lumpur dapat membendung gas supaya tidak masuk ke dalam lubang sumur, tetapi gas dapat masuk
ke dalam lubang
bersama
cutting. Gas keluar dari cutting masuk ke dalam lumpur, makin lama gas makin banyak sehingga dapat menurunkan berat jenis dari lumpur bor. Kalau hal ini terjadi, maka tekanan hidrostatik lumpur tidak dapat lagi membendung masuknya gas ke dalam sumur secara lebih besar. 2. Tinggi kolom lumpur turun Bila formasi pecah atau ada celah-celah atau rekah-rekah pada lapisan di dalam lubang,
maka lumpur bor akan masuk ke dalam lapisan yang
pecah atau bercelah tersebut. Akibat turunnya
tinggi kolom di annulus
tersebut, maka tekanan hidrostatik lumpur juga akan turun pula. Adapun yang menyebabkan lumpur bor masuk ke dalam formasi yaitu : a. Squeeze effect, jika pemboran (drill string) terlalu
sewaktu
menurunkan
cepat, maka lumpur
rangkaian
yang
peralatan
berada di bawah
rangkaian (bit) terlambat naik ke annulus diatas bit. Ini menyebabkan lumpur di bawah bit tertekan ke formasi, rangkaian bor dengan lubang
karena kondisi antara
bor seperti sebuah piston. Squeeze effect dapat mengakibatkan pecahnya formasi dan lumpur bor akan masuk ke dalam formasi. b. Berat jenis lumpur yang tinggi, digunakan tinggi,
karena berat jenis lumpur yang
maka tekanan hidrostatik
lumpur
menjadi
besar. Bila
menemui lapisan yang tekanan rekahnya kecil, maka formasi akan rekah sehingga lumpur dapat masuk ke dalam formasi. c.
Viskositas lumpur yang tinggi, bila viskositas lumpur tinggi, maka disaat sirkulasi pressure loss di annulus cukup tinggi. Hal ini dapat mengakibatka n formasi pecah bila formasinya tidak kuat.
d. Gel strength lumpur yang tingg, gel strength sangat penting disaat tidak ada sirkulasi,
karena dapat menahan cutting dan menjaga material
pembawa lumpur tidak menumpuk di dasar lubang. Jika gel strength terlalu tinggi, untuk memerlukan sanggup
memulai
sirkulasi
kembali
setelah
berhenti
tenaga pompa yang cukup besar. Bila formasi tidak
menahan
tekanan pompa yang besar, maka formasi akan
pecah. e. Pemompaan yang mengejut, akan dapat menyebabkan formasi pecah, bila formasi tidak kuat. Disaat bit menembus formasi yang telah rekah akibat pemompaan yang mengejut, maka lumpur akan mengisi rekahan dan celah tersebut, sehingga jika lumpur masuk ke formasi cukup besar, permukaan lumpur
di annulus
akan turun
dan selanjutnya
tekanan hidrostatik akan turun. 3. Hilang lumpur Hilang lumpur
pada saat tertentu terlalu
besar, sehingga
permukaan
lumpur dalam lubang bor turun, dan tekanan hidrotatis lumpur
dapat
menjadi lebih kecil daripada tekanan formasi. Hilang lumpur ini dapat terjadi
karena
porositas formasi
terlalu
besar, formasi
yang bergua
(cavernous), mungkin pula karena ada celah-celah atau rekahan di dalam formasi.
4. Abnormal pressure Adakalanya pemboran menembus formasi dengan tekanan sangat tinggi, dan melebihi tekanan hidrotatis lumpur. 2.5.4.2.Peralatan Deteksi Well Kick Peralatan standard yang digunakan untuk mendeteksi adanya well kick terdiri dari : 1. Pit level indikator, dipakai level-measuring transducer pada setiap tangki lumpur, sehingga volume lumpur di tangki selalu dapat di catat. 2. Pump stroke counter, alat penghitung jumlah langkah pompa ini sangat perlu untuk pengendalian kick atau semburan liar. 3. Flow indicator, pada flow line untuk mengamati adanya atau besarnya aliran pada flow line. 4. Trip tank, untuk mengamati jumlah lumpur yang keluar atau masuk lubang bor pada waktu operasi cabut atau masuk pahat. 5. Gas chromatograph, untuk menganalisa gas. Dalam hal inilah
peralatan
mengatasi kick dan semburan.
semburan
liar akan berfungsi
untuk
Untuk itu diperlukan peralatan yang baik
dan mempunya i tekanan kerja yang sesuai. 2.5.4.3.Metode Penanggulangan Well Kick Apabila
terjadi
kick,
maka
well
killing
penangulangannya. Adapun hal-hal yang perlu dilakukan
adalah
bila terjadi kick
adalah sebagai berikut : 1. Bila terjadi saat pemboran berlangsung : a. Menghentikan pompa. b. Mengangkat kelly di atas BOP. c. Menutup BOP dengan semua choke terbuka (menghindarkan adanya shock karena tekanan). d. Menutup choke perlahan (bila tekanan permukaan memungkinkan). e. Mencatat Pdp dan Pann.
cara
f.
Mencatat kenaikan lumpur di
permukaan. g. Menyiapkan untuk sirkulasi. 2. Bila terjadi selama pengangkatan pipa : a. Memasang full opening valve di drill string, lalu tutup. b. Memasang back pressure valve. c. Membuka full opening valve. d. Menutup BOP dengan choke terbuka. e. Menutup choke perlahan, bila tekanan memungkinkan. f.
Mencatat Pdp dan Pann dan kenaikan
lumpur. g. Stripping dan kemudian siap untuk sirkulasi. Setelah diketahui bahwa terjadi kick sumur
harus segera ditutup.
Setelah semua persiapan cukup maka tahap selanjutnya adalah mematikan sumur. Pada proses mematikan sumur ini dipakai prinsip bahwa tekanan pada dasar lubang bor harus konstan. Dalam hal ini tekanan pada dasar lubang sumur sama dengan tekanan formasi. Ada pula pendapat dipakai tekanan tambahan S (overbalance) antara 100 – 150 psi terhadap formasi, Pada Pbh = Pf + S. dalam pembicaraan ini selanjutnya dipakai Pbh = Pf. Dalam proses mematikan sumur ini diambil beberapa asumsi : 1. Pressure drop di annulus dianggap terlalu kecil dibandingkan dengan pressure drop di dalam pipa bor, dan perubahan presure drop di annulus juga dianggap terlalu kecil dan diabaikan. 2. Lubang bor dianggap dalam keadaan baik, tidak runtuh atau membesar. Untuk menaikkan
berat jenis lumpur
yang akan digunakan
menanggulangi kick ada berbagai macam metode, antara lain : 1. Metode Driller Cara ini sering disebut pula sebagai “Two-Circulation Method”, dengancara sebagai berikut :
untuk
Sirkulasi ke-1
: keluarkan cairan kick dari dalam lubang bor dengan
lumpur lama. Sirkulasi ke-2 atau
: lubang bor dianggap dalam keadaan baik, tidak runtuh
membesar. Profil
tekanan pada pipa bor pada casing
dan drill pipe dapat
ditunjukka n pada Gambar 2.33. Tampak pada gambar tersebut bahwa tekanan pada drill pipe harus dijaga agar tetap konstan. Hal ini dapat diperoleh dengan mengatur choke. Sementara itu cairan kick harus diberi kesempatan
untuk
mengembang
agar tekanan pada dasar lubang tidak
terlalu besar. Tetapi pengembangan cairan kick berarti pengurangan volume lumpur, yang juga berarti pengurangan tekanan hidrostatis lumpur, yang juga berarti kenaikan tekanan pada casing. Pbh = P hl + P hi + Pc ................................................. (2-13) dimana:
Pbh
= tekanan pada dasar lubang.
Phl
= tekanan hidrostatis
lumpur. Phi
= tekanan hidrostatis cairan kick.
Pc
= tekanan pada casing/choke manifold.
Untuk perhitungan dalam mematikan kick ini biasa dipakai “kill work sheet”, yang merupakan rincian pola pemompaan terutama pada tahap 1.
Gambar 2.33. Profil Tekanan Casing dan Drillpipe Pada Drillers Method
2. Wait and Weight Method Cara ini sering juga disebut “One-Circulation Method” atau juga “Engineer’s Method”. Intinya adalah : a. “Wait” atau tunggu, selama membuat lumpur berat. b. Sirkulasikan cairan kick keluar dari lubang bor dengan lumpur berat. Asumsi-asumsi yang dipakai sama seperti drillers method. Tekanan pompa adalah sebagai berikut : Ps0 = Pkr0 + SIDP ....................................................... (2-14) W1 Psa = Pkr1 = W xPkr
0
................................................ (2-15)
0
Dalam
hal ini
perlu
dicatat,
bahwa tekanan di annulus
berkurang
dibanding dengan driller’s method karena pada tahap kedua lumpur berat telah masuk ke dalam annulus.
Gambar 2.34.. Profil Tekanan Casing dan Drillpipe Pada Wait and Weight Method
3. Metode Concurent Cara ketiga
adalah
dilakukan dengan memompakan
Metode Concurent. Dalam memompakan
lumpur
hal ini
lama,
pemompaan
tetapi
sambil
lumpur tersebut, lumpur diperberat. Cara ini lebih cepat,
tetapi ada dua kegiatan yang harus dikerjakan pada saat bersamaan ialah dengan
memompakan
lumpur dengan pola tertentu dan memperberat
lumpur.
Dua pekerjaan ini dalam kenyataannya sulit dikerjakan secara
bersamaan. 4. Cara Kombinasi Ada cara lain yang pada dasarnya adalah gabungan atau variasi dari cara -cara tersebut di atas. Misalnya,
wait and weight method, dimana harus
menambah berat lumpur sekaligus,
maka penambahan dilakukan secara
bertahap, sehingga pada sirkulasi yang pertama cairan kick dikeluarkan dari dalam lubang bor dengan lumpur berat, tetapi sebelum seberat yang diperlukan untuk mematika n sumur.